Meneladani Bung Oji

Jakarta, KPonline – Dalam pemilihan legislatif kemarin, Muhammad Nurfahroji mengenakan nomor punggung 10. Angka yang sempurna.

Dan benar. Ia memperlihatkan kelasnya. Ketika suaranya tidak mencukupi untuk menjadikannya wakil rakyat, ia tidak tersuruk dan jatuh. Kepada para relawan ia mengucapkan terima kasih, untuk kemudian mengajak bangkit dan melanjutkan risalah perjuangan.

“Kita ini pejuang. Untuk berjuang melakukan perubahan bisa dimana saja. Tidak harus menjadi dewan,” katanya, seperti saya baca dalam sebuah catatan seorang kawan dari agenda buka puasa yang diselenggarakan relawan Oji, kemarin.

Baginya, menjadi anggota legislatif hanya salah satu cara. Apabila melalui cara ini tidak bisa, niscaya kita masih bisa melakukan cara-cara yang lain.

Sejak dulu, saya mengagumi keberanian laki-laki ini. Saat menerobos masuk ke dalam ruang sidang DPR RI untuk memperjuangkan jaminan kesehatan, dalam kasus Kalbe Farma, dan sederet kisah heroik lain; membuktikan jika dirinya adalah aktifis yang pilih tanding.

Saya menikmati orasinya di atas mobil komando. Suaranya lantang menggetarkan. Namun meski terkesan sangar, ia teman yang menyenangkan.

Pun demikian, ia juga kritis dalam diskusi. Amanah yang diembannya sebagai Direktur Hukum di Dewan Pimpinan Nasional Jamkes Watch, membuat Oji kritis terhadap BPJS Kesehatan.

Beberapa tahun yang lalu, saat menginap di PC Bekasi, pagi-pagi sekali saya diajak ke rumahnya. Butuh perjalanan yang tidak sebentar untuk sampai ke sana. Tetapi baginya, jarak bukan hambatan.

Apapun itu, apa yang dilakukan bung Oji memberikan inspirasi kepada kita untuk tidak takut melangkah. Setiap teori harus diuji di lapangan. Ia sudah melakukannya, lebih dari sekedar kata-kata.

Sikap dan semangatnya layak untuk kita teladani.

 

KAHAR S. CAHYONO