Menantang Maut Demi Upah Murah

Jakarta, KPonline – Meledaknya pabrik petasan di Kosambi, Tangerang, yang menewaskan 47 orang merupakan pelanggaran serius terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970.

Tim FSPMI-KSPI pada Jum`at, 27 Oktober 2017 sudah turun langsung ke lokasi pabrik yang meledak. Berdasarkan pengamatan dan keterangan yang didapat, patut diduga telah memenuhi unsur pidana terkait dengan tewasnya puluhan pekerja tersebut.

Tragisnya, di perusahaan yang penuh dengan bahan-bahan berbahaya tersebut tidak ada alat yang memadai terkait dengan K3.

Seharusnya perusahaan dengan tingkat risiko besar seperti ini tidak diperbolehkan beroperasi, sebelum ada kepastian mengenai standart K3. Pemerintah bukan saja kecolongan. Tetapi sekaligus membuktikan lemahnya lemahnya peran dan fungsi pengawas ketenagakerjaan.

Mengapa buruh bersedia menantang maut, bekerja dalam tempat kerja yang berbahaya meskipun diupah murah? Jawabnya adalah keterpaksaan. Mencari kerja sulit, akibat lapangan kerja yang makin sempit.

Kalau saja ada kesempatan yang lebih baik, niscaya para buruh akan memilih bekerja di tempat yang layak, dengan upah yang juga layak. Upah murah menyebabkan buruh daya beli buruh makin menurun, sehingga bagi mereka yang penting adalah bertahan hidup. Bahkan ketika maut mengintai setiap saat di tempat kerja.

Terkait dengan kejadian ini, Kepala Disnakertrans dan Menteri Ketenagakerjaan harus dicopot dari jabatannya, karena gagal dalam memberikan perlindungan terhadap kaum buruh. Hal ini sebagai bentuk tanggungjawab moral, karena telah lalai dalam melakukan pengawasan.

Tetapi kalau masih memiliki rasa malu, memang sebaiknya Menaker mengundurkan diri.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang harus dilakukan menyikapi tragedi ini.

Pertama, pidanakan pengusaha pabrik petasan dan copot Kadisnsker dan Menaker.

Kedua, melakukan kampanye K3 secara nasional dan meluas.

Ketiga, memperkuat pengawasan ketenagakerjaan. Saya berpendapat, Pengawas Ketenagakerjaan tidak lagi di provinsi, tetapi diambil alih di pusat di bawah Menaker, dengan membentuk Komite Nasional Pengawasan Peburuhan yang diketahui langsung oleh Menaker. Sehingga pengawas ketenagakerjaan bukan otonomi di daerah, sebagaimana yang diatur dalam Konvensi ILO. Cara ini bisa memaksimalkan peran mengawas dalam hal menekan kecelakaan kerja yang menuebabkan kerja yang menyebabkan kematian termasuk kekerasan termasuk PRT.

Ketempat, sebanyak 47 orang yang meningga di pabrik petasan, perbudak panci, dan sekitar 28 buruh yang meninggal di PT Mandom akan dibawak ke ILO dalam sidang ILO tahun 2018. Karena hal ini bentuk kegagalan pemerintah dan pengusaha dalam melindungi nyawa kaum buruh yang sangat murah di hadapan mereka.

Pentingnya Upah Layak

Selain mengenai tempat kerja yang layak, buruh juga harus dibayar layak.

Itulah sebabnya, kaum buruh yang dimotori oleh KSPI menuntut kenaikan upah minimum tahun 2018 sebesar 50 dollar atau setara dengan 650 ribu dan meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) dicabut.

Mengapa harus naik 650 ribu? Karena upah murah saat ini tidak relevan lagi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Akibatnya daya beli menurun yang berimbas pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

Sebagai contoh, untuk bayar kontrakan, listrik, dan kebutuhan perumahan di Jakarta buruh harus mengeluarkan Rp 1.300.000. Untuk transportasi Rp 500.000. Untuk sekali makan 15 ribu. Jika sehari makan 3 kali, maka sebulan Rp 1.350.000. Itu saja totalnya sudah Rp 3.150.000. Ini belum untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain seperti pakaian, pendidikan, dan sebagainya.

Hal ini diperparah dengan daya beli buruh yang semakin turun, misalnya akibat kenaikan harga listrik. Jika sebelumnya buruh membayar listrik sebesar 200 ribu. Sekarang setelah kenaikan listrik, buruh harus membayar 300 ribu. 100 ribu lebih mahal dari harga biasanya. Pada saat yang sama, upah buruh tidak ada kenaikan. Akibatkan, 100 ribu yang biasanya bisa digunakan untuk konsumsi atau membeli barang yang lain, harus digunakan untuk membayar listrik. Dengan kata lain, daya beli buruh turun 100 ribu.

Untuk memperjuangkan ini, ratusan ribu buruh Indonesia dan KSPI akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia bertepatan dengan hari Pahlawan, tanggal 10 November 2017. Beberapa provinsi yang akan melakukan aksi adalah Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gotontalo, Kalimantan Selatan, dan sebagainya.

Dalam aksi tanggal 10 November nanti, khusus di Jabodetabek aksi akan dipusatkan di Istana Negara, Jakarta, dengan melibatkan kurang lebih 20 ribu orang buruh. Sementara di daerah-daerah lain, aksi besar-besarean dipusatkan di kantor Gubernur masing-masing daerah.

Sebagai pemanasan, buruh se-DKI Jakarta akan melakukan aksi di Balaikota DKI Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2017. Dalam aksi tersebut, diperkirakan akan diikuti 5 ribu orang buruh dari berbagai serikat pekerja.

Aksi di Balaikota untuk menuntut janji kampanye Anies — Sandi agar tidak menggunakan PP 78/2015 dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2018, dan menaikkan UMP DKI Jakarta sebesar kurang lebih 650 ribu.