Mempersoalkan Upah Murah dan Jam Kerja yang Panjang  

Presiden KSPI Said Iqbal

Oleh: Said Iqbal

Saat ini, buruh-buruh di German sedang berjuang untuk mengurangi jam kerja dari 35 jam per Minggu menjadi 30 jam. Sudah begitu, mereka meminta agar upahnya dinaikkan menjadi 2 kali kipat.

Bacaan Lainnya

Saya rasa, perjuangan mereka sangat tepat. Hebat. Sudahlah jam kerja minta diturunin, upah dinaikkan, dan tidak mau lembur.

Kalau di Indonesia, rasanya hal itu tidak berlaku. Disini buruh bahkan bekerja hingga 12 jam dengan lembur. Tetapi tetap miskin. Lalu ada anggapan, ketika Pengusaha sudah memberikan lembur, ia berbaik hati kepada buruh-buruhnya.

“Ini saya kasih tambahan?” Begini kira-kira Pengusaha itu berkata kepada buruh saat memberikan lemburan. Buruh pun lupa, nilai lembur yang diberikan itu tidak sebanding dengan kerja yang dikeluarkan kaum buruh itu sendiri.

Ini yang kita persoalkan. Jadi, bukan investasinya yang kita gugat. Bukan pengusahanya yang kita gugat. Kita tidak anti investasi, tetapi kalau kemudian investasi masuk dan kita tetap menjadi miskin, maka buruh akan teriak!

Tegasnya, kita menolak sistem yang digunakan: upah murah, jam kerja yang panjang.

Anda tahu, tahun 1800-an ratusan orang mati di Chicago, yang kemudian dikenal dengan May Day itu, karena memperjuangkan jam kerja: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam bersosialisasi. Nyawa menjadi taruhan untuk memperjuangkan jam kerja, seperti yang kita nikmati sekarang. Hari ini perilaku mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang panjang itu diulang kembali. Buruh dipaksa dengan jam kerja yang panjang. Ironisnya, buruhnya bersenang hati.

Coba tanya buruh-buruh itu, kalau ada lemburan senang sekali mereka. Dia lupa. Dia sedang menanam penyakitnya sendiri. Nanti kalau sudah tua, sakit-sakitan, dan begitu sakit – karena upahnya rendah dan pergi ke dokter tidak mampu – yang tadinya bisa nyicil motor waktu kerja, pas sudah selesai kerja motor yang dicicilnya itu dijual kembali.

Inilah yang saya sebut lingkaran kemiskikan.

Lalu apa bedanya dengan binatang? Begitu pagi pertebaran mencari makan, lantas ketika malam menjelang kembali pulang ke kandang. Hidup hanya untuk sekedar cukup makan. Kita mau seperti binatang itu?

Bagi saya, ini tentang rasa keadilan.

Bukan karena buruh-buruh itu mendapatkan  pekerjaan lantas mereka harus menunduk. Bukan itu. Sering saya mengatakan, kalau ada orang miskin karena tidak bekerja, kita bisa terima. Karena dia tidak punya pekerjaan. Tidak mempunyai penghasilan, maka Negara harus membantu dalam bentuk raskin, jaminan kesehatan ketika sakit, dan sebagainya. Tetapi yang terjadi sekarang, buruh bekerja selama 30 hingga 40 tahun, akan tetapi masih tetap miskin. Saya kira ini bukan retorika. Ini adalah fakta.

Saya sendiri masih bekerja. Sehingga saya tahu betul seperti apa kemiskinan yang dialami oleh kaum buruh.

Kalaupun buruh bisa membeli motor, pasti itu dibeli dengan sistem kredit.

Ada yang mempertanyakan, “buruh sudah punya motor ninja, bung Iqbal?” Tahukah  Anda, dia bisa memiliki motor ninja, berapa jam dia bekerja dalam sehari? Sehari dia bekerja hingga 12 jam. Sementara itu, dirumah istrinya jualan voucher.

Anda bisa bandingkan, orang-orang kaya itu kerja hanya 2 jam tetapi kaya raya, ini buruh kerja 12 jam ditambah istrinya di rumah jualan, baru bisa beli motor ninja sudah dipermasalahkan. Itu pun kredit. Kalau saya, sebagai pemimpin buruh berpendapat, jangankan beli motor ninja. Buruh harus bisa membeli mobil dan memiliki rumah yang layak.

Apa yang salah kalau buruh kemudian bisa hidup layak. Apakah buruh selamanya harus hidup pas-pasan, tinggal dikontrakan sempit yang berhimpit itu.

Baru beli motor ninja sata dipertanyakan? Sementara kamu tidak pernah menanyakan, pengusaha itu kaya dari mana? Uang siapa yang dipakai dari bank-bank yang dia pinjam.

Dimana logikanya!

Seolah-olah buruh yang mempunyai kehidupan lebih baik karena pendapatannya sedikit besar, itu pun harus berkorban dengan jam kerja yang panjang, tidak boleh.

Saya rasa, saya masih belum pada titik anti kapitalisme. Saya masih setuju dengan adanya investasi itu. Yang kita tidak setuju, datangnya investasi membuat kita menjadi tetap miskin.

Apa ukuran tidak miskin? Sederhana. Buruh bisa menabung dari upah yang mereka terima. Nah, sekarang, jangankan menabung. Kami ini upah minimum dengan ukuran 10 Kg beras, 5 potong ikan segar, dan 0,75 Kg daging dalam satu bulan. Ukuran itu tidak masuk akal. Tetapi dipaksa untuk diterima.

Dan lagi-lagi saya harus mengatakan, kita akan melawan. Menolak dan menggugat kebijakan itu.

Kemudian orang menilai, sikap kita ini membuat kita terlihat garang. Keligatan seolah-olah tidak mau kompromi.

Habis tidak ada pilihan. Sebelum kita turun ke jalan, kan kita sudah membuka ruang untuk berdiskusi. Sederhana saja saya memandang. Kalau benar diskusi adalah untuk solusi, mengapa kebijakan yang berorientasi kepada kesejahteraan buruh tidak dijalankan sejak 20 tahun yang lalu.

Tidak harus menunggu buruh turun ke jalan, bukan?

Kalau pemerintah ini benar-benar cinta kepada rakyat, sejak 20 tahun yang lalu seharusnya kebijakan pro buruh sudah dijalankan. Apalagi kita tahu, investasi saat jaman Soeharto sangat luar biasa besarnya. Bahkan diperkirakan, kalau Soeharto tidak jatih dan ekonomi Indonesia terus tumbuh, kita bisa menyamai Korea Selatan.

Kemudian mengatakan, buruh tidak ramah terhadap inveastasi. Saya rasa, ini adalah kalimat mereka yang paling hebat: tidak ramah investasi.

Mereka keliru. Justru investasi yang tidak ramah terhadap buruh!

Sekali lagi saya ingin tegaskan, kita tidak anti investasi. Kita setuju perusahaan untung. Tetapi kita inginkan investasi yang tidak menyebabkan kedaulatan bangsa ini tergadai. Kita inginkan investasi yang diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan.

Pos terkait