Membicarakan Omnibus Law

Jakarta, KPonline – Kemarin saya hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Mahasiswa UNIS di Tangerang, Banten. Tema diskusinya, “Omnibus Law: Indonesia Menuju Kehancuran.”

Dari pilihan tema itu, kita segera penangkap pesan, bahwa isi dari diskusi ini adalah terkait dengan penolakan terhadap omnibus law. Dan memang, itulah yang kami bicarakan.

Sebelum ini, saya banyak mendapat undangan untuk menghadiri diskusi bertema omnibus law. Termasuk dengan pihak-pihak yang percaya, bahwa RUU Cipta Kerja merupakan jalan menuju kesejahteraan.

Berbicara di komunitas yang seluruhnya menolak omnibus law tentu relatif mudah. Karena respon mereka akan cenderung sama. Menolak.

Berbeda halnya jika diskusi serupa diselenggarakan oleh kelompok yang pro omnibus law. Tidak mudah merubah keyakinan orang.

“Siapa yang tak ingin adanya penciptaan lapangan kerja?” Begitu para pendukung omnibus law membangun argumentasinya. Mereka berlindung di balik nama, Cipta Kerja.

Tentu saja, ada banyak alasan yang bisa kita sampaikan untuk mematahkan argumentasi itu.

Untuk menyampaikan alasan, maka harus dijelaskan apa dasar kita melakukan penolakan.

Begitulah. Kita harus bersuara. Tidak cukup hanya dengan satu kata: Lawan!

Tanpa penjelasan, kata “lawan” yang ribuan kali diucapkan hanya akan membuat orang menjadi antipati. Tetap tidak mengerti, mengapa omnibus law harus dijegal hingga gagal.

Untuk memberikan penjelasan, perlu ada komunikasi. Forum-forum diskusi seperti ini adalah ruang untuk memberikan penjelasan atas sikap penolakan kita terhadap omnibus law.

Tapi itu saja tidak cukup. Sebab pembahasan omnibus law dilakukan di DPR sana. Dengan kata lain, suara penolakan kita mustinya juga diperdengarkan di ruang-ruang pengambilan kebijakan.

Percuma kita berteriak di jalanan, upload meme penolakan di media sosial, kalau di dalam Senayan orang-orang tidak membicarakan apa yang menjadi keprihatinan kita.

* * *

Berbicara tentang DPR, di hari yang sama ketika saya menghadiri diskusi ini, para pimpinan dari berbagai serikat pekerja sedang menghadiri sarasehan di Senayan. Tema yang dibahas mengenai omnibus law.

Saya diberitahu agenda itu sehari sebelumnya. Bahkan ikut menyiapkan konsep yang hendak disampaikan dalam sarasehan itu. Terdiri dari tanya jawab seputar omnibus law, ringkasan eksekutif, dan kajian kritis klaster ketenagakerjaan.

Dengan demikian, apa yang disampaikan di dalam DPR adalah keberatan kaum buruh terhadap omnibus law. Hadir ke sana, kita tidak sedang menyampaikan persetujuan atau dukungan.

Itulah juga yang akan kita lakukan saat menerima usulan pembentukan tim bersama Panja RUU Cipta Kerja. Di dalam tim yang akan rapat perdana pada tanggal 18 Agustus nanti, kita juga akan menyampaikan point-point keberatan kita terhadap omnibus law.

Pilihan tanggal 18 Agustus juga sekaligus hendak memastikan, bahwa omnibus law tidak akan disahkan di hari kemerdekaan.

Di Panja inilah omnibus law dibahas. Kita berkepentingan untuk memastikan agar wakil rakyat memahami mengapa kita menolak omnibus law.

Apakah ini akan berhasil? Belum tentu. Sama tidak tentunya ketika kita hanya menyuarakan penolakan dari atas mokom, tuntutan kita akan terpenuhi.

Apakah aksi akan dilakukan? Tetap. Sebagai bagian dari strategi perjuangan, buruh tak pernah meninggalkan aksi.

Konsep, lobi, dan aksi adalah satu tarikan nafas. Di dalam maupun di luar, kita akan bersuara.

Kita selalu memberi ruang untuk melakukan sosial dialog. Menuangkan pokok-pokok pikiran dan gagasan dalam mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.

Pola ini biasa kita lakukan ketika berjuang upah. Di dalam sistem, dewan pengupahan berunding. Sementara di luar, aksi besar-besaran kita lakukan.