Lupa Waktu

Oleh: Kahar S. Cahyono*

Semalam di Babakan Madang, Sentul Selatan. Hari sudah larut. Tetapi diskusi itu masih berlanjut.

Di sekeliling gelap. Beberapa jam lagi sudah dini hari. Di kejauhan, lampu-lampu taman menghiasi malam.

Semakin malam, diskusi belum juga menunjukkan tanda-tanda bakal segera usai. Dari yang awalnya fokus membedah permasalahan di industri semen bersama tokoh FSP ISI, kami berpindah-pindah dari satu tema ke tema yang lain.

Karena harus ada yang dikerjakan, saya undur diri. Nggak sanggup menghadapi pemain malam, yang kalau berdiskusi, tak jarang baru berhenti ketika ayam berkokok. Tanda pagi sudah datang.

Suasana seperti ini sering sekali saya temui. Soal tempat bisa di mana saja. Di gazebo tengah kolam seperti semalam, atau di angkringan pinggir jalan.

Sepintas seperti orang yang lupa waktu. Tak jarang dalam hati bertanya. Apa sih yang dicari?

Meskipun demikian, dari diskusi informal seperti inilah, muncul ide-ide orisinil yang tak terduga.

Dan yang terpenting, ketika masih ada orang yang berkumpul untuk membicarakan isu-isu perjuangan, saat itu masih ada denyut kehidupan.

Lihat saja. Serikat yang sekarat cirinya selalu sama. Tak ada lagi diskusi, apa yang akan dikerjakan ke depan.

Soal lupa waktu, bukan hanya tentang diskusi hingga larut malam. Banyak kita temui, kawan-kawan yang menggunakan waktu liburnya untuk pergerakan. Sudahlah sehari-hari bekerja hingga nyaris habis tenaga, di waktu libur masih digunakan untuk kegiatan serikat pekerja.

Seorang kawan pernah berkata, “Kadang kita ini lebih kejam dibandingkan dengan pengusaha hitam. Betapa tidak. Sebagai buruh, setidak-tidaknya kita bekerja 8 jam. Tetapi sebagai pembebas kaum yang tertindas, durasi kerjanya 24 jam, tanpa lemburan.

Dan karena mereka menaruh jiwa dan raganya di jalan perjuangan ini, mereka melakukannya dengan senang hati.

Kahar S. Cahyono*
Vice President FSPMI/Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI