Kriminalisasi Pengurus Serikat adalah Pelanggaran Hak Asasi

Kriminalisasi Pengurus Serikat adalah Pelanggaran Hak Asasi
Mobil Komando (Mokom) "Si_Jalu", saksi bisu perjalanan gerakan buruh FSPMI di depan Pintu Gerbang PT. YMMA.

Bekasi, KPonline–Ditengah upaya buruh memperjuangkan hak-haknya melalui jalur legal dan konstitusional, praktik kriminalisasi terhadap pengurus serikat pekerja kembali mencuat ke permukaan. Ironisnya, tindakan ini justru datang dari pihak perusahaan, tempat para buruh mengabdikan diri dan menggantungkan hidup.

Kriminalisasi terhadap pengurus serikat pekerja bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga tamparan keras terhadap prinsip demokrasi di tempat kerja. Ketika pengurus serikat melakukan kegiatan organisasi seperti advokasi, pendampingan anggota, atau menyuarakan aspirasi pekerja, justru mereka kerap dijerat dengan pasal-pasal karet yang seharusnya tak relevan.

Menurut data dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dalam tiga tahun terakhir terdapat puluhan kasus kriminalisasi terhadap aktivis serikat pekerja. Bentuknya mulai dari pemanggilan polisi, pemecatan sepihak, hingga pelaporan pidana yang mengada-ada, seperti tuduhan menghasut atau mencemarkan nama baik perusahaan.

Dan ini bisa dikatakan sebagai bentuk union busting yang terang-terangan. “Pengurus serikat melakukan kegiatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang jelas melindungi kebebasan berserikat dan menyatakan bahwa tidak boleh ada intimidasi atau diskriminasi terhadap aktivis serikat,” ujar Supriyadi Piyong, Panglima Koordinator Nasional (Pangkornas) Garda Metal FSPMI.

Kriminalisasi terhadap pengurus serikat merupakan bentuk kekerasan struktural yang mengancam kebebasan berserikat, salah satu hak asasi yang dijamin baik oleh konstitusi Indonesia maupun hukum internasional. Dalam Konvensi ILO Nomor 87 dan 98, yang telah diratifikasi oleh Indonesia, hak untuk berserikat dan berunding secara kolektif merupakan prinsip fundamental yang tidak bisa diganggu gugat.

Namun dilapangan, fakta berkata lain. Banyak pengurus serikat yang akhirnya terpaksa mengundurkan diri karena tekanan yang sistematis, termasuk ancaman pelaporan ke aparat penegak hukum. Ada pula yang dipindahkan secara sepihak, dikucilkan, bahkan dilarang masuk pabrik tanpa surat resmi.

Praktik ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan semangat kolektif buruh dalam memperjuangkan hak. Lebih dari itu, ini menciptakan efek jera bagi para pekerja lainnya agar takut berserikat.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut bahwa kriminalisasi pengurus serikat pekerja seringkali merupakan upaya perusahaan untuk melemahkan daya tawar kolektif. “Kasus-kasus ini hampir selalu diwarnai penyimpangan prosedur hukum, dan minim bukti kuat. Tapi karena hubungan kekuasaan timpang, pekerja nyaris selalu dalam posisi lemah,” jelas Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Kementerian Ketenagakerjaan pun sebenarnya telah mengingatkan perusahaan agar tidak melakukan union busting. Dalam beberapa kesempatan, Dirjen PHI & Jamsos menyatakan bahwa pengurus serikat memiliki hak imunitas saat menjalankan tugas organisasinya.

Namun, tanpa penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada keadilan, himbauan tersebut tak lebih dari sekadar formalitas. Aparat penegak hukum pun sering kali tak peka, atau bahkan berpihak pada pemilik modal.

Kasus terbaru menimpa seorang ketua dan Sekretaris PUK (Pimpinan Unit Kerja) Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPEE) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di kawasan industri di Bekasi.

Kejadian itu berawal karena dari sebuah diskusi yang menimbulkan adanya kerumunan massa di sebrang pintu gerbang PT. YMMA pada 4 Oktober 2024 lalu, Slamet Bambang Waluyo, dan Wiwin Zaini Miftah, dimana pada saat itu, salah satu pimpinan Serikat Pekerja tersebut kebetulan ada dalam kerumunan tersebut.

Namun, pihak perusahaan malah melaporkan keduanya ke Polres Metro Bekasi dengan alasan aktivitas mereka diduga merupakan bentuk kesalahan berat berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. Yamaha Music Manufacturing Asia.

“Kriminalisasi terhadap pengurus serikat adalah bentuk pengingkaran terhadap hak-hak dasar pekerja. Jika hal ini dibiarkan, maka pelan tapi pasti, demokrasi di tempat kerja akan mati. Padahal, buruh adalah tulang punggung industri. Jika suara mereka dibungkam, siapa lagi yang akan menjaga keadilan di dunia kerja?,” tegas Supriyadi.

Dan karena hal itu, “kami (FSPMI) kembali mendatangi Pabrik (Yamaha) ini, untuk meminta keadilan,” pungkas Supriyadi. 

Perlu diketahui, hari ini Senin 23 Juni 2025, FSPMI Kabupaten Bekasi kembali melakukan aksi ke PT. Yamaha Music Manufacturing Asia, dimana kasus kriminalisasi yang dilakukan pihak manajemen terhadap Ketua dan Sekretaris PUK tersebut belum menemui titik terang yang baik.

“Saatnya semua pihak, baik itu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus menyadari bahwa tindakan kriminalisasi terhadap pengurus serikat bukan hanya bentuk ketidakadilan, tapi juga ancaman nyata bagi masa depan hubungan industrial di Indonesia,” ajak Supriyadi.

Menurutnya, serikat pekerja bukan musuh perusahaan. Justru sebaliknya, keberadaan serikat adalah mitra kritis dalam membangun relasi industrial yang sehat dan berkeadilan. Dengan serikat, suara buruh bisa tersalurkan secara tertib. Tanpa serikat potensi konflik justru lebih besar