Kisruh regulasi JKN dan BPJS, Ini Detail Pandangan Jamkeswatch

Surabaya, KPonline – Hingga hari ini, (Selasa, 02/04/2019) aturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden No.82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden pada 17 September 2018, belum juga dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (KemKes).

Sebagaimana turunan dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan, Klasifikasi pelayanan yang dikenakan urun biaya tersebut diamanahkan selesai dalam jangka waktu 6 bulan semenjak Perpres tersebut diundangkan. Artinya pada 17 Maret 2019 kemarin harusnya sudah ditetapkan KemKes.

Bacaan Lainnya
Pertemuan antara BPJS Kesehatan dengan Jamkeswatch

Molornya penetapan klasifikasi tidak terlepas dari tarik ulur kepentingan dan krusialnya kebijakan. Bahkan Kemkes secara terang-terangan, meminta masukan asosiasi profesi tentang penyakit yang akan dikenakan skema urun biaya. Kontradiksi terhadap jenis penyalahgunaan pun meluas dan sengit. Sangat disayangkan, pembuat kebijakan malah meminta masukan dari yang mendapatkan kebijakan. Dan kekisruhan regulasi terus berlanjut.

https://www.koranperdjoeangan.com/didi-suprijadi-pentingnya-pendidikan-dan-pemahaman-dunia-digital-sejak-dini/
https://www.koranperdjoeangan.com/bandung-raya-siapkan-penyambutan-relawan-longmarch/
Pertemuan antara BPJS Kesehatan dengan Jamkeswatch
Janji politik salah satu capres
Aksi Jamkeswatch KSPI dan FSPMI di kantor BPJS

Dari pengamatan Jamkeswatch, kisruh regulasi berawal dari lahirnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (PerDirJamPelKes) BPJS Kesehatan No. 2, Nomor 3 dan Nomor 4 tentang pelayanan untuk persalinan, katarak dan rehab medis. Sebuah kebijakan “Tes to the water” BPJS Kesehatan dalam ranah pelayanan medis.

Kebijakan itu diharapkan menekan defisit anggaran, akibat tingginya pengeluaran pada ketiga bidang pelayanan tersebut. Tujuannya jelas, menertibkan pelayanan Faskes/Dokter dan meminta mengikuti standar pelayanan. Sehingga ada kepastian pembiayaan dan dapat mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Disini ditekankan pencegahan fraud yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan.

Janji politik salah satu capres

Namun dalam perjalanannya, KemKes didukung oleh asosiasi Rumah Sakit dan asosiasi profesi lain, menolak keras kebijakan tersebut. Mereka menganggap kebijakan Direksi itu masuk “pekarangan orang lain” serta berpotensi mengurangi pelayanan. Dengan lantang mereka meminta aturan tersebut dicabut.

Setelah niat baik mengurangi defisit itu menuai polemik, akhirnya BPJS kesehatan mencabut regulasi tersebut. Dengan dicabutnya, BPJS Kesehatan tentu berharap KemKes membantu memberikan solusi, terkait defisit anggaran yang mulai meresahkan masyarakat, RS dan tenaga kesehatan.

Masalah belum selesai, ternyata timbul lagi masalah baru. Yaitu persoalan akreditasi dan kredensial RS, yang bisa menghambat/mengganggu pelayanan. Beberapa RS bahkan terindikasi terancam gagal administrasi, yang berarti bisa dilarang memberikan pelayanan kesehatan. Gegara akreditasi pula, ada beberapa RS yang mencabut kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Tak ayal, karena hal itu, pelayanan kesehatan kembali mendapatkan ujian.

Bola panas pun ganti bergulir ke KemKes. Bagaimana tidak, aturan akreditasi yang dibuat sendiri oleh KemKes, adalah syarat mutlak administrasi dan perijinan sebelum RS diperbolehkan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun realitasnya, tidak bisa berjalan dengan baik. Muncullah pertanyaan menggelitik, bagaimana hal itu tertata dan terlaksana sebelum era BPJS?

Menutupi kekurangannya KemKes segera mengambil langkah, secara lugas melayangkan surat rekomendasi kepada BPJS Kesehatan untuk tetap menjalin kerjasama dengan RS yang dalam proses akreditasi. Seraya memberikan waktu kepengurusan selama 6 bulan. Lolos tidaknya RS dalam terakreditasi tidak diperhitungkan, namun BPJS tetap diminta bekerjasama.

Lucunya lagi, persyaratan faskes untuk kerjasama dengan BPJS, yang mengatur adalah KemKes juga. BPJS Kesehatan terjebak keadaan dan mengikuti rekomendasi itu. Meski birokrasi perijinan ribet dan lama, polemik sedikit mereda dengan menyisakan sebuah tanda tanya.

Dalam rangka memenuhi harapan BPJS Kesehatan mengatasi defisit dan masalah pelayanan kesehatan. Disinilah kemudian KemKes menelorkan PerMenKes 51/2018 yang mengatur soal urun biaya dan selisih biaya. Dalam pasal 2 disebutkan tujuannya, untuk kendali mutu dan kendali biaya serta mencegah penyalahgunaan pelayanan di faskes. Alih-alih memperjelas indikasi Fraud oleh faskes, aturan ini malah menekankan fraud dan moral hazard yang dilakukan oleh peserta BPJS.

Jamkeswatch pernah mengulas kritisi aturan ini dalam link Permenakes Jebakan atau Komitmen,

Kebijakan Kemenakes harus di batalkan dan Permenkes tidak manusiawi

Jika ditanya apakah regulasi itu bisa menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan dan defisit anggaran? Jamkeswatch memastikan bahwa kebijakan itu memang akan membantu sedikit mengurangi namun defisit BPJS tetap belum teratasi.

Untuk mengatasi masalah BPJS, ada beberapa solusi yang diusulkan oleh Jamkeswatch, diantaranya : Pertama, menaikkan premi iuran sebagaimana hasil perhitungan aktuaria, kebijakan ini memang sangat politis dan tidak populis, namun konteksnya demi kebaikan masyarakat dan keberlangsungan BPJS. Penyelamatan program tanpa pencitraan.

Kedua, memaksimalkan kepesertaan dan pembayaran iuran PPU. Selain PBI yang iurannya dibayar oleh pemerintah, peserta PPU lah yang sudah pasti membayar iuran dengan tertib. Kontribusi pekerja dan kalangan industri dalam BPJS sangat diperlukan. Dengan naiknya jumlah kepesertaan dan pembayaran iuran sesuai upah yang diterimakan, diharapkan mampu mengerek pemasukan dana.

Ketiga, memaksimalkan peran pengawasan dan kepatuhan. Dengan pengawasan yang kuat dan sanksi yang jelas, maka peserta tidak akan mengabaikan kewajibannya. PP 86 tahun 2013 dirasa belum berjalan secara utuh dan konsekuen. Agar tidak terjadi kontradiksi, penegakan kepatuhan juga harus diimbangi dengan pelayanan yang optimal.

Keempat, pemerintah harus hadir dengan atensi dan konklusi yang jelas. Tugas negara adalah mewujudkan masyarakat yang sehat, sejahtera, adil dan makmur, kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dengan segala daya pemerintah harus berupaya memberikan solusi pada pokok permasalahan, baik itu anggaran, penegakan maupun pelayanan. Saat ini kita masih dipertontonkan ketidaksinkronan antar lembaga/instansi pemerintah.

Kelima, menggandeng lembaga-lembaga independen/non profit untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan jaminan sosial. Ini penting, sebagai upaya check and balance serta membuka ruang dialog/diskusi untuk menjadikan pelaksanaan lebih baik. Hanya bertumpu pada DJSN, komite medis, inspektorat atau BPKP dirasa masih kurang, mengingat besarnya peserta, pelaksana dan juga luasnya ranah serta koordinasi BPJS.

Deputi Presiden KSPI Muhammad Rusdi mengatakan, “Kondisi BPJS saat ini adalah bentuk ketidak seriusan dan kegagalan pemerintah menjalankan amanah konstitusi. Pemerintah seharusnya menjadikan menjadikan masalah BPJS sebagai program prioritas sehingga tidak adalagi alasan defisit anggaran”.

Ia juga menambahkan, “Belakangan regulasi yang lahir justru menjadikan pelaksanaan rancu, pelayanan ruwet dan tidak jelasnya arah jaminan sosial. Kita sudah siapkan konsep dan gagasan untuk mengkritisinya, karena kita peduli dan cinta negeri ini.” Ujar pria mantan presidium KAJS, lembaga yang dulu mendorong lahirnya SJSN.

Penertiban penyalahgunaan, efisiensi dan efektifitas pelayanan serta perbaikan moral hazard memang mutlak diperlukan tetapi jangan sampai salah sasaran dan menjadi konflik kepentingan.

Kesehatan yang diatur dengan sistem yang tidak sesuai dengan budaya dan karakter kita, maka bersiaplah untuk “tidak sehat” selamanya.

(Ipang Sugiasmoro)
Tim Jamkeswatch Jawa Timur

Pos terkait