Purwakarta, KPonline – Dibalik gedung-gedung pabrik dan mesin-mesin produksi yang tak pernah tidur, ada jutaan buruh yang bekerja tanpa kepastian. Mereka bukan karyawan tetap. Mereka tidak mendapatkan pesangon, tidak ada jaminan hari tua, dan setiap saat bisa kehilangan pekerjaan. Mereka adalah korban dari sistem bernama outsourcing.
Outsourcing atau mungkin lebih dikenal dengan sistem alih daya adalah praktik dimana perusahaan menyerahkan sebagian fungsi kerja kepada pihak ketiga. Dan dalam praktiknya, sistem ini sering dipakai untuk merekrut tenaga kerja di sektor-sektor penting, seperti keamanan, kebersihan, logistik, bahkan produksi.
“Outsourcing itu seperti kontrak tanpa masa depan. Begitu kontrak selesai, pekerja atau buruh harus keluar. Kalau mau masuk lagi, harus lewat perusahaan outsourcing lagi. Tapi kerjaannya ya sama saja”
Banyak perusahaan menyebut sistem (Outsourcing) ini sebagai strategi efisiensi. Tapi pertanyaannya, efisiensi untuk siapa? Di atas kertas, outsourcing memang mengurangi beban biaya perusahaan. Mereka tak perlu membayar pesangon, tunjangan, atau jaminan pensiun. Namun, dibalik angka-angka itu, ada manusia yang kehidupannya tergadai demi laba.
Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, lebih dari 70% tenaga kerja di sektor industri adalah pekerja tidak tetap, sebagian besar dari mereka berasal dari outsourcing. Dan dalam survei yang sempat dilakukan, pada 2024, didapat bahwa mayoritas pekerja outsourcing tidak pernah mendapat pelatihan kerja lanjutan, jaminan kesehatan memadai, atau kenaikan upah berkala.
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 sebenarnya telah mengatur tentang pembatasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, yaitu pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan proses produksi. Bahkan, dalam praktiknya, banyak perusahaan nakal yang justru menggunakan outsourcing untuk menghindari kewajiban mempermanenkan pekerja setelah bertahun-tahun bekerja.
“Seringkali outsourcing digunakan sebagai tameng agar perusahaan tidak perlu memberikan hak-hak normatif, dimana pekerja/buruh tiba-tiba diberhentikan tanpa alasan dan tanpa pesangon”
Dampak outsourcing bukan hanya pada kesejahteraan buruh, tetapi juga pada stabilitas sosial. Ketika buruh hidup tanpa kepastian, mereka tidak bisa mengakses kredit perumahan, tidak bisa menabung, dan cenderung hidup dari utang ke utang. Dalam jangka panjang, ini menjadi bom waktu bagi ekonomi nasional.
Namun, ditengah gelombang ketidakadilan ini, buruh tidak tinggal diam. Sejumlah serikat pekerja, termasuk FSPMI, KSPSI, dan KPBI, secara konsisten mengkampanyekan penghapusan outsourcing dan mendorong pengangkatan pekerja menjadi karyawan tetap.
Dibeberapa daerah, pada tahun 2012, buruh melakukan aksi hostum: Hapus outsourcing, tolak upah murah dengan melakukan pemogokan berskala besar (Mogok Nasional) sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem ini. Dan itu, menunjukkan bahwa kesabaran buruh ada batasnya. Jika suara mereka tidak didengar, maka jalanan akan menjadi saksi perjuangan mereka.
Outsourcing boleh saja disebut efisien, tapi jika efisiensi itu dibayar dengan keringat dan airmata tanpa masa depan, maka sistem ini harus segera dihapus dan tidak layak dipertahankan