Ketika Buruh Berkumpul Dipidanakan, Bagimana Dengan Pengusaha?

Bogor, KPonline – Wabah dan Penyebaran virus Covid-19 begitu cepat, masuk ke segala lapisan dan sendi kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, di hampir seluruh belahan dunia, pun merasakan dampak yang luar biasa. Bidang ekonomi, sosial dan yang paling menyedihkan adalah, ketika wabah dan penyebaran virus Covid-19, masuk ke ranah politik. Politisasi. Sebuah fenomena yang beberapa tahun terakhir menjadi konsumsi publik belakangan ini. Politik dijadikan sarana hiburan, tontonan dan juga bahan lucu-lucuan.

Dalam bidang sosial, semua masyarakat Indonesia sedang mengalami pergeseran peradaban sosial yang cukup memprihatinkan. Physical Distancing dan Social Distancing yang digadang-gadang oleh pihak pemerintah selama pandemi virus Covid-19, menggeser peradaban sosial yang selama ini ada. Menjaga jarak fisik, Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), jam malam, dilarangnya berkumpul dan berkerumun, seakan-akan menjadi momok yang aneh dan menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena kita sudah mahfum, bahwasanya kehidupan sosial masyarakat Indonesia senang sekali berkumpul. Seperti pepatah yang mengatakan, makan ora mangan sing penting ngumpul.

Bacaan Lainnya

“Dipaksanya” masyarakat Indonesia untuk menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pun adalah sesuatu hal yang baru. Padahal, pada era 80 hingga 90-an, anak-anak kecil hingga remaja pada waktu itu sudah membayangkan, jika pada tahun 2000-an yang akan datang, robot-robot akan berseliweran di jalan-jalan. Tapi nyatanya, di tahun 2020 ini, masyarakat Indonesia baru bisa belajar, bagaimana mencuci tangan yang baik dan benar. Ironis dan jenaka? Memang begitulah kenyataannya.

Fenomena berikutnya adalah adanya peraturan pemerintah dan beberapa daerah lainnya yang menerapkan jam malam. Hal ini, dalam mengantisipasi adanya kumpul-kumpul dan berkerumunnya orang-orang disuatu tempat. Bahkan, hal ini juga berlaku pada industri dunia malam. Tempat-tempat hiburan yang biasanya ramai dan riuh pada malam hingga dini hari, harus rela menutup tempat-tempat usahanya, agar mata rantai penyebaran virus Covid-19 tidak semakin menyebar.

Berkumpul dan berkerumun yang dihimbau oleh pihak pemerintah, ternyata tidak hanya sekedar himbauan. Bahkan, pemerintah pusat dan daerah, telah menetapkan akan mempidanakan orang-orang yang “membandel”, jika masih keluyuran malam atau berkumpul dan berkerumun. Tapi pada prakteknya, himbauan pemerintah yang akan mempidanakan orang-orang yang berkumpul dan berkerumun, tidak berlaku bagi para pengusaha atau para pemilik pabrik. Pasalnya, hingga saat ini, disaat wabah dan penyebaran virus Covid-19 masih menjadi pandemi di beberapa belahan dunia, pihak aparat kepolisian belum juga berani menangkap para pengusaha dan para pemilik pabrik tersebut.

Di kawasan-kawasan industri, dan diberbagai wilayah lain, yang dijadikan tempat usaha seperti pabrik, hingga saat ini belum semua menutup atau menghentikan kegiatan produksi. Ada puluhan, ratusan bahkan ribuan buruh pabrik, yang sangat mungkin menjadi korban terjangkitnya virus Covid-19. Andaikan saja, jika ada seorang buruh pabrik yang terpapar atau terjangkit virus Covid-19, apakah pabrik tersebut akan menutup atau menghentikan kegiatan produksinya, demi keselamatan orang banyak ? Tentu saja, hal ini akan menjadi polemik di kalangan pengusaha, tetap berproduksi atau menghentikan sementara kegiatannya.

Akan selalu ada 2 sisi yang menjadi polemik dan debat berkepanjangan yang tak berkesudahan. Disinilah peran pihak pemerintah diuji, dalam mengambil keputusan. Dan tentu saja, kita dapat menebak, lebih condong kemana keputusan pihak pemerintah dan aparat kepolisian selama wabah dan penyebaran virus Covid-19 ini terjadi. Dan selalu saja, buruh-buruh pabrik akan terus dirugikan dengan peraturan yang dibuat oleh pihak pemerintah sendiri. Karena jika memang penegakan hukum yang adil, tidak pandang bulu, sudah barang tentu, sudah banyak pengusaha yang akan dipidanakan dan dipenjarakan, karena dengan sengaja telah mengumpulkan dan membuat orang-orang berkerumun.

Semua buruh, akan berpikir dan mengatakan hal yang sama, “Kami lebih baik tetap bekerja. Akan tetapi, jika dalam situasi dan kondisi yang mengkhawatirkan seperti ini, hanya peraturan yang sehatlah yang kami butuhkan”. Hal ini sangatlah wajar, karena bekerja bagi buruh adalah bagian dari nafas mereka. Sendi-sendi kehidupan kaum buruh pun, sangat bergantung kepada pekerjaan. Pun begitu dengan pihak pengusaha, sangat membutuhkan kaum buruh dan kaum pekerja dalam menggerakan roda-roda mesin produksi yang mereka punya. Saling ketergantungan, simbiosis mutualisme adalah suatu hal yang menjadi dasar kehidupan manusia. Saling bantu membantu dan juga saling memberi.

Ketegasan pihak pemerintah dalam memutuskan mata rantai penyebaran virus Covid-19 sangatlah dibutuhkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Jika berat sebelah, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, maka tentu saja akan mendapatkan kritikan yang tajam, bahkan tidak menutup kemungkinan, akan mendapatkan perlawanan yang sengit dari pihak-pihak yang dirugikan. Sebut saja kaum buruh, yang saat ini masih harus terus bekerja, dibawah bayang-bayang wabah dan penyebaran virus Corona. Ditambah lagi, dengan adanya ancaman pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, yang telah disahkan dan akan dibahas oleh Badan Legislasi DPR RI.

Jika buruh-buruh pabrik, masih saja harus terus bekerja di pabrik-pabrik, dan para pengusaha dan para pemilik pabrik, masih aman-aman saja. Maka tiada pilihan lain bagi kaum buruh, turun ke jalan untuk menyuarakan perlawanan terhadap RUU Cilaka tersebut. Apakah kaum buruh yang turun ke jalan, berkumpul dan berkerumun, akan ditangkap, dan dipidanakan ? Bisa saja. Tapi bagaimana dengan para pengusaha dan para pemilik pabrik ? Apakah mereka juga akan ditangkap, dan dipidanakan, sesuai himbauan pemerintah ? Entahlah. Mari kita tanyakan rumput yang bergoyang, sambil menyeruput segelas kopi plastik, di pinggaran Senayan.

Pos terkait