Ketidakpahaman Dan Dipenjara Amarah, Masyarakat Menghakimi Kaum Buruh

Air hujan yang sangat deras menguyur jalanan, guyuran air yang tertumpah seaakan menutup sebagain besar ruas jalan raya

Debit air yang semakin bertambah seakan bersekongkol dengan kabut yang semakin menerasi jalan, Gelap dan petang entah itu air atau memang kabut yang mengepul hingga tak terlihat barang 5 cm pun

Di seberang jalan di sudut warung berwana hijau kusam duduklah saya dengan sepenggal rokok di tangan kiri, menatap ku kosong keluar jendela hiruk pikuk keramaikan dan peradaban jalan tempat biasa mobil dan kenddaraan lalau lantang seaakan sekejap sirna di usirnya

bersama secangkir kopi besar buatan nenek paruh baya pemilik warung makan tua itu imajinasi mulai mengahampiri hanya untuk sekedar melintas atau lamunan yang mengingatkan akan segudang permaslahan hidup

Mataku terpaku pada satu titik tatapan keluar jendela melihat derasnya air yang jatuh kelantai jalanan dan sering kali kaca tertutup percikan air yang menempel kusam di muka jendela

Tiga gelas kosong di depan dada, Hujan mulai mereda dan kabut memudar berlahan 90 menit berlalu rupanya. namun badan terasa enggan pula beranjak dari ruangan kusam dengan makanan tersaji di meja atap kumuh tempat nenek ini menjeput rizky meski kupandangi usianya sudah senja,

Wajah letih nampak jelas di mukanya, entah letih berkelahi dengan massa atau letih karena dunia tak berpihak kepadanya entahlah, saya tak mau larut dalam tanya. bergegaslah merogok kocek untuk kopiku dan pergilah aku menungangi kuda besi peneman setiaku

Laju kencang kuda besi seakan perlawanan diri untuk membunuh rasa dingin jalananan sisa hujan itu, hingga lupa jalan masih berbahaya bahkan tak terhiraukan di pikiranku jalan sangat gelap belum lagi muka aspal yang licin dan belum nampak kering sedikitpun

Tak lama ku gas laju kendaraan itu tiba tiba lampu belakang mobil warna merah sangat terang persis di depan mukaku, tak kusadari badanku basah dan muka sudah berhadapan dengan kerikil sayup mata yang ingin kubuka lebar sangat tidak mungkin, yang terlihat hanyalah gerumunan kaki berlari kearahku dan pancaran lampu dari segala arah menyilau mataku

Suara riuh tlakson sangat kencang di ambang telinga, dan suara terikan riuh yang terdengar, dengan banyak tanya yang kudengar tapi tapi hanyalah kaki dan uluran tangan yang merangkul tubuhku dan pertanyaan panik yang ku tangap

Sekejap, mataku terbuka dan melihat atap berwarna kan putih dan tirai coklat tua di sebelah ujung kiri atas tanganku, baju putih sedang membersihkan darah di bagian tubuh bawak, kakiku spertinya.

dimana ini?
Saya kenapa?

Tanya lirihku, sebagai ungakpan rasa perih yang bersarang di seluruh bagian tubuhku, dokter menjawab dan sesekali menyuruhku tenang.
Saya sedikit ingat iya sorotan lampu di depan kuda besiku, perih dan luka lengkap dengan dokter di depanku ini .

Saya mulai memahami saya diam sambil menahan jahitan yang sudah dilakukan berlaham namun perih terus menusuk rasanya, saya berteriak kesakitan berontak dan berharap tidak terjadi apa apa. !!!

– Demo Buruh dan Penghakiman satu sudut pandang masyarakat

Dari sepenggal cerita diatas saya mau bertanya?
Kapan kecelakaan terjadi ?

Tidak tidak ada kalimat yang menjelaskan waktu terjadinya hanya ada ada beberapa keterangan, yaitu jalan yang gelap dan aspal yang basah dan lampu belakang Mobil

Pasti banyak yang menyimak dan mengira waktu terjadinya malam hari. Dengan alasan jalan yang gelap, Bibir aspal yang licin dan lampu mobil

Saya jawab (salah).

Jalan licin karena basah terkena hujan dan jalanan gelap karena lampu kota motor saya mati dan belum saya perbaiki.

Kalian sama halnya dengan pembaca lainya yaitu mengira dan mengungkap kan sebuah jawaban dari sudut pandang yang mereka Terka tanpa pernah mau tau kenapa dan mengapa? Dengan pemgetahuan yang seadaanya tapi dalam waktu bersamaan kalian menentukan jawaban dan berusaha mencari pembenaran

Gelap berati petang dan malam?
Tapi mereka tidak memperhatikan dan mau cari tau dengan jeli setiap keterangan yang bisa menjelaskan.

– Demo Buruh menuntut Upah Layak dan Menolak PP 78/2015

Begitu pula dengan Demo Buruh yang mambuat macet nyaris setiap minggu di banyak di daerah di indonesia apalagi di bulan november ini,
Iya bulan ini sebagian buruh banyak melakuakn unjuk rasa dan turun di jalanan untuk menyuarakan rasa protes pada satu sistem pemerintah mengenai kesejahteraan kaum buruh dan tentang keadilan sesama manusia di depan hukum

Ya,
Demo buruh tidak berlangsung 10 atau 20 menit saja. ribuan buruh yang turun ke jalan raya hampir menutup satu ruas jalan selama berjama jama bahkan sampai larut malam dan nyaris dapat di pastikan pusat pemerintah dan ibu kota dan daerah lainya di mecetkan oleh segerombolan berbaju sama itu lengkap dengan panji panji bendera organisasi Teriakan dan suara lantang sang orator di atas mobil yang melaju di paling depan Barisan

Kemacetan, ya kemacetan?

Di pagi hari ketika aktifitas setiap manusia mulai di lakukan, anak pergi sekolah, pegawai swasta, pegawai kantoran, Tukang becak, babe asongan, dan berbagai macam macam profesi lainya

Ketika pagi mereka mulai pergi ke sekolah kantor dan gedung gedung dan lainya suatu tempat mereka bekerja.
Tapi di tengah perjalanan mereka di hadang oleh keramaian Buruh di jalan dan di Hadang kemacetan
Apa yang masyarakat fikirkan seketika waktu itu??

Marah, sebel, caci maki, Hujatan, penghakiman dan tentu masih banyak ungkapan atas tergangunya mereka,
Tapi pernah kah mereka bertanya pada ribuan aktivis buruh yang mereka hakimi sebagai biang keladi kemacetan itu??

Jika manusia hidup saja rela mati mati matian mencari makan bahkan menjual ideologi hanya karena urusan perut?

Apakah tanpa alasan pula ribuan buruh keluar dari pabrik pabrik tempat mereka bekerja,
Turun ke jalan seharian, berteriak – teriak di tengah teriknya matahari tanpa pernah peduli perut mereka lapar tanpa peduli kerongkonggan mereka kering tanpa menghiraukan lelah apalagi memperdulikan wajah yang bermandikan keringat dan memerah menghitam di bakar panasnya ibukota

jika masyarat ibukota tergangu perjalanan nya, jika masyarakat ibukota merasa terampas hak mengunakan jalan nya, sama pula halnya dengan ribuan buruh yang turun ke jalan itu,

Mereka melakukan semua itu bukan tanpa alasan, mereka sama juga dengan yang mencaki maki di atas kemacetan itu, Buruh merasa tergangu oleh pelangar hukum di negaranya, Buruh juga merasa di Rampas kesejahteraan nya.
kenapa ?

Buruh di jalanan itu bukan buruh yang lahir dan besar di sebuah negara yang miskin bukan pula besar di negara yang tak berada.
Mereka lahir dan besar di sebuah
Negara yang kaya raya beradat berbudaya kekayan hayati yang melimpah warisan budaya yang sangat kaya bahkan mengudang decap kagum mata dunia

Mereka lahir di negara yang di warisai kekayan. Tapi mengapa hanya sekedar menyekolah kan anaknya saja mereka menagis dan acap kali merintih ketika pagi si buruh takut tidak bisa memberi uang saku untuk sekolah putra putri nya,

Jangan kata untuk meyekolah kan anak dan berhasil mengantarkan si buah hatinya ke sekolah perguruan tinggi, mendengar buah hatinya mempunyai mimpi-mimpi tinggi mimpi-mimpi besar, hanya untuk bermimpi saja rasa rasanya si anak buruh tidak berani,

bagi buruh pula mereka merasa tidak miskin seperti seharusnya hanya saja dengan berbaik sangka mungkin ada satu sistem sebuah negara yang memiskinkan nya, semoga itu hanya mimpi buruk dan pagi datang dengan harapan

Meski habis pula kepercayaan Buruh dengan wakil wakil nya di gedung pencakar langit di tengah ibu kota mereka para manusia setengah dewa itu,

Upah berarti Kesejahteraan Buruh

Bulan november menjelang akhir tahun adalah bulan penetapan nilai upah untuk satu tahun kedepan bagi masa depan dan nasib seorang pekerja,
bagimana tidak hidup dan sejahternya seorang pekerja sepertinya di tentukan oleh bulan bulan menjelang pergantian tahun itu, dimana kenaikan upah layak seperti sumber air yang muncul di puncak cartenz piramid di ujung papua

Tapi sepertinya sama dengan Gunung Jayawijaya, gunung tertingi di indonesia dan gunung tertingi di samudera Hindia itu, dimana di puncak ada salju abadi.
Bagi kuli dan buruh ada juga penindasan abadi

Ah Kumaha engke, semoga tidak !!!

Bagi buruh kenaikan upah layak ditentukan oleh amanat Undang undang UU nomer 13 tahun 2003 tentang kenaikan Upah. Dimana untuk menentukan besar kenaikan Upah ditentukan oleh Tiga aspek yaitu Dewan Pengupahan, Apindo dan Serikat Pekerja/Buruh.

Tapi sama seperti yang sudah sudah hak buruh di rampas, hak berunding rakyat di rebut dengan adanya PP 78 tahun 2015 , dimana di dalam undang undang itu hanya menentukan kenaikan Upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan angka 3,72 + 4,99: 8,71%

Hak serikat pekerja di rampas
suara buruh si penentu kemajuan perusahaan di bungkam, suara tenaga buruh pembuat kekayaan korporasi itu ditiadakan dan di lenyapkan dan karena PP 78/2015 itu pula kenaikan buruh hanya naik sekitar 200 sampai 250 pertahun

“Dimana letak pancasila sila kelima itu?,” Begitu kiranya teriak buruh

Bagaimana masyarakat bicara keadilan bagaimana buruh bicara kesejahteraan kalo hanya sekedar Hak berunding dan bermusyawah saja di rampas.

Bagi kaum buruh yang biasa bekerja dari pagi sampai hingga petang angka kenaikan gaji adalah hal yang sangat di tunggu tunggu

Bagi mereka kaum buruh yang biasa bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi dan menyambung hidupnya, angka angka itu sangat di nantikan

Tapi pernahkah berfikir bagi pemrintah dan bos bos perusahaan itu, berapa banyak keringat buruh bercucuran untuk membesarkan perusahaanya berapa banyak dana yang mereka sumbangkan melalu pajak devisa negara dan lainya untuk kemajuan negara?
pernah kah mereka berfikir berapa banyak air mata buruh menetas hanya untuk menambah pundi pundi kekayaan nya?

Sudah pantaskah mereka membalas hubungan kemanusianya itu.
Sudah kah itu cukup menunjukan nurani seorang manusia yang bertuhan ?

Ah tidak,
Sama halnya dengan cerita pendek kecelakanan diatas mayoritas masyarakat indonesia tidak mau mencari tau tidak mau direpotkan mencari keterangan dan alasan di balik sesuatu. tapi melihat sesuatu itu dari sudut pandang mereka sendiri menyimpulkan seraya mencari pembenaran pribadi dan mengutuk, menghakimi sesuatu yang mereka fikir merugikanya

bagi mereka yang digangu perjalanan nya !
bagi mereka yang di rampas waktu berangkat kerja nya !
bagi mereka yang tergangu pagi nya !

mereka tidak pernah mau tau itu,

mereka tidak mau tau bahwa Ribuan nyawa, ribuan tubuh.
ribuan buruh lemah itu menuntut keadilan dan Mencari kesejahteraan
bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Tapi untuk anak cucu dan generasi setelah mereka.

Mereka tidak mau mencari tau tidak mau memahami alasan kalo yang di lakukan ribuan buruh bernurani itu juga untuk dirinya, untuk kesejahteraan nya, untuk semua keturunanya. sekumpulan kaum marjinal yang memenuhi jalanan itu juga memikirkan saudara sebangsa dan setanah air nya, memikirkan kesejahteraan, keadilan untuk siapapun anak bangsa di negeri ini.

Penulis : Nukhan Dzu