Kenaikan UMK Cirebon 2019 Bukan Pemicu Inflasi

Cirebon, KPonline – Tulisan ini dibuat untuk nenyikapi pemberitaan pernyataan Walikota Cirebon “Kenaikkan UMK Dikhawatirkan Jadi Pemicu Inflasi” pada salah satu media lokal online Cirebon (kabar-cirebon.com).

Walikota Cirebon, Nashrudin Azis usai memimpin kegiatan “High Level Meeting (HLM) Tim Pengendalian Inflasi Daerah ( TPID) Kota Cirebon” yang berlangsung di Ruang Adipura Balaikota, Rabu (26/12/2018).

Dia menyampaikan “ada yang perlu diperhatikan jika Januari 2019 adanya kerawanan terhadap inflasi. Karena salah satu faktornya yakni adanya kenaikan Upah Minimum Kota (UMK). Sehingga diharapkan dengan perubahan UMK tidak berdampak terhadap kenaikan harga-harga.”

Menurut kami pernyataan walikota ini bentuk gagal faham yang tidak mengatahui falsafah pengupahan

UMK atau Upah Minimum Kota/Kabupaten adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang berlaku di Daerah Kabupaten/Kota dan berlaku untuk pekerja lajang dan 0 (nol) tahun.

Bagi pekerja yang bekerja lebih dari satu tahun dan sudah menikah maka upah bukan lagi berpatokan pada besaran UMK melainkan harus menggunkan Struktur Skala Upah. Mekanismenya ketentuan besaran UMK melalui Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang didalamnya tersiri dari unsur Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Pekerja kemudian melakukan survey KHL (Kebutuhan Hidup Layak) di pasar-pasar tradisional mengacu pada Permenakertrans No.13 Tahun 2012 sebanyak 60 item KHL.

Dari hasil survey tersebut dijadikan acuan sebagai rekomendasi berapa besaran UMK untuk diserahkan kepada Gubernur untuk ditetapkan.

Mekanisme diatas adalah sebelum Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 dikeluarkan, saat ini dalam penetuaan UMK tidak lagi menggunakan survey KHL oleh Dewan Pengupahan melainkan ditetapkan langsung oleh Pemerintah Pusat dengan rumusan Inflasi ditambah Pendapatan Domestik Bruto.

Dengan formula baku seperti itu, maka daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi pun harus menyesuaikan atau mengacu pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara nasional. Begitupun dengan tingkat inflasi, daerah yang inflasinya tinggi pun tetap mengacu pada tingkat inflasi secara nasional.

Jelas dengan formula seperti ini saja tidak layak, kalau kita melihat UMK Kota Cirebon 2018 sebesar Rp 1.893.383,54 dan di tahun 2019 naik sebesar 8.03% atau naik Rp. 152.038,70 menjadi Rp. 2.045.422,24. kenaikan 8.03% atau Rp. 152.038 akan membuat daya beli buruh jatuh. Hal ini, karena, kenaikan harga-harga barang seperti beras, telur ayam, transportasi (BBM), listrik, hingga sewa rumah kenaikannya lebih besar dari 8,03 %.

Riset AC Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya beli pada masyarakat menengah ke bawah.

Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat. Artinya Penghasilan masyarakat pekerja/buruh turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya.  Sementara biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.

Pengamat Faisal Basri dalam tulisan Transformasi Struktural dan Daya Beli juga memaparkan terjadi penurunan daya beli pada kelompok 40% termiskin Menurut Faisal Basri mengatakan ada beberapa indikasi penurunan daya beli telah merembet ke kelompok 40% berpendapatan menengah, khususnya menengah-bawah dan menengah-tengah. Diantaranya akibat pencabutan subsidi listrik untuk pelanggar 900 VA.

Jumlah mereka sekitar 19 juta. Buruh harus mengelukan uang lebih untuk membayar tarif listrik yang subsidinya dicabut, uang yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan yang lain dialihkan untuk menutupi kenaikan tarif listrik.

Selanjutnya dari konsumsi BBM, Kenaikan harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik. Saat ini, harga minyak dunia rata-rata menembus 80 dolar per barel, dimana penetapannya mengacu pada Permen ESDM No. 34 tahun 2018 Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 39 Tahun 2014, Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM.

Atas ketentuan tersebut, Pertamina menetapkan penyesuaian harga. Sebagai contoh di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, harga Pertamax Rp10.400/liter, Pertamax Turbo Rp12.250/liter, Pertamina Dex Rp11.850/liter, Dexlite Rp10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp9900/liter.

Dampak bagi masyarakat akibat kenaikan ini adalah kemungkinan inflasi yang membengkak dan menurunnya daya beli masyarakat. Konsumsi juga bisa melambat. Masyarakat akan mengeluarkan lebih banyak untuk BBM kemudian mengurangi belanja kebutuhan yang lain.

Seorang Ekonom sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani saja berpendapat “kenaikan upah akan berpengaruh positif terhadap daya beli masyarakat. Sehingga, kenaikan upah dapat mengerek tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika dunia usaha tidak menaikkan produktivitasnya.

Jadi yang selaras adalah Inflasi didorong oleh naiknya harga kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, listrik, bbm, kontrakan dll. Inilah faktor yang memengaruhi kenaikan nilai kebutuhan hidup layak (KHL).

Namun faktanya Pemerintah dalam menetapkan UMK tidak berdasarkan KHL, sekali lagi justru Buruh lah yang terus di miskinkan dibayar dengan upah murah.

Logika dan kekhawatiran yang dikeluarkan oleh Pejabat Daerah setingkat Walikota Cirebon ini menjadi terbalik dan tidak mengetahui hukum ekonomi sehingga mengkambing hitamkan UMK penyebab Inflasi, ini menjadi jelas juga bahwa Walikota dengan kenaikan UMK sebesar 8.03% di 2019 saja seperti menyesal dan paranoid walaupun pada faktanya bagi kami kenaikan itu tidak sebanding KHL.