Ini Tanggapan Buruh FSPMI Jepara Terhadap Kenaikan Upah Minimum Sebesar 8,03 Persen

Jepara, KPonline – Berdasarkan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) nomor B.240/M-NAKER/PHISSK-UPAH/X/2018 tertanggal 15 Oktober 2018, kenaikan upah minimum tahun 2019 telah ditetapkan sebesar 8,03 persen. Kebijakan ini langsung mendapat respon dari buruh di berbagai daerah, termasuk di Jepara. Menurut buruh di Jepara 8.03% tersebut, dinilai terlalu rendah dan merugikan buruh.

Mewakili FSPMI Jepara, Ketua PUK SPAMK FSPMI PT.SAMI-JF  Yohanes Sri Giyanto yang akrab disapa Ndan Yo, merespon dan menanggapi dengan cepat mengenai surat edaran dari Menaker.

Bacaan Lainnya

Menurut Ndan Yo, penetapan tersebut memberatkan bagi buruh khususnya yang ada di Jepara. Karena dengan kenaikan upah yang hanya 8.03%, dirasa belum bisa/cukup untuk menutupi semua kebutuhan hidup kaum buruh di tahun 2019.

Ketua PUK SPAMK FSPMI PT.SAMI-JF  Yohanes Sri Giyanto

“Kan sudah jelas di UU 13 tahun 2003 bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya bahwa upah yang di dapat oleh buruh/pekerja harus mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun saat ini, kenaikan upah yang di berikan oleh pemerintah lewat aturan PP 78 tahun 2015 itu masih jauh dari kata layak. Untuk itu, kami FSPMI yang ada di kabupaten Jepara tegas menolak adanya surat edaran dari Menaker, karena jelas merugikan buruh,” ujarnya.

Dia juga mengimbuhkan bahwa kenaikan 8.03% belum bisa mencukupi kebutuhan buruh yang masih berstatus lajang. Tak hanya itu, dia juga menyimpulkan bahwa cabut PP 78 tahun 2015 menjadi solusi terbaik untuk masalah pengupahan di rezim ini.

“Jikalau dibandingkan dengan hasil riil KHL (Kebutuhan Hidup Layak) kenaikan 8.03% tidak mencukupi untuk kebutuhan buruh yang berstatus lajang. Apalagi dengan yang sudah berkeluarga? sudah pasti menjadi tambahan beban fikir bagi kepala keluarga. Yang sebenarnya sudah dipusingkan dengan melejitnya harga-harga kebutuhan pokok, belum lagi ditambah naiknya BBM dan tarif dasar listrik. Tentu saja semakin membuat dompet buruh menjerit dan tercekik. Solusi terjitu untuk masalah ini cuma satu, cabut PP 78 tahun 2015,” tambahnya. (Ded)

Pos terkait