(Bukan) Membandingkan 212 Vs 412: Ibarat Menepuk Air di Dulang, Terpecik Muka Sendiri

Jakarta, KPonline – Sekedar menyalahkan itu gampang. Memberikan komentar negatif, mencela, dan memberikan cibiran atas apa yang dilakukan orang lain semudah membalikkan tangan. Tetapi yang sulit adalah melakukan dengan lebih baik, atas kesalahan yang kita tudingkan kepada orang lain.

Saya masih mengingat dengan baik. Saat ketika aksi buruh dituding sebagai aksi bayaran. Foto pasukan Garda Metal disandingkan dengan pasukan biru dan oranye, dan diberikan tulisan pasukan nasi bungkus. Sebutan ini tentu saja menyakitkan. Karena ada kesan, bahwa aksi buruh adalah aksi bayaran.

“Buruh mah cuman dibayar nasi bungkus diselipin uang antara 50-100 ribu rupiah,” begitu tudingan itu disampaikan. Kita tahu, tudingan itu disampaikan untuk mendelegitimasi makna sebuah aksi. Bahwa peserta aksi datang bukan untuk menyuarakan aspirasi. Tidak digerakkan pada kesadaran, apalagi sebuah idiologi. Peserta datang karena bayaran, dan karenanya, aksi yang dilakukan tak perlu dihiraukan.

Mengapa buruh dituduh seperti itu? Salah satunya, karena buruh menyerukan agar Ahok ditangkap. Hal ini terkait dengan dugaan korupsi yang dilakukan Ahok dalam hal RS Sumber Waras serta penistaan agama. Hal lain, buruh mengkritik keras kebijakan penggusuran, reklamasi, dan kebijakan upah murah oleh Gubernur DKI Jakarta.

Tentu saja, buruh menyanggah tudingan itu. Mereka menegaskan bahwa aksi yang mereka lakukan bukanlah aksi bayaran. Mereka harus patungan untuk membayar bus. Sebagai organisasi serikat pekerja yang aktif dan dinamis, anggota membayar iuran, yang salah satu fungsinya adalah untuk mendanai aksi-aksi seperti ini. Ramai-ramai buruh melakukan pembelaan. Mereka yang sudah purna tugas, tidak lagi bekerja di pabrik pun memberikan kesaksian.

Meme yang sempat beredar di media sosial. Gambar Garda Metal diidentikkan dengan sebutan Pasukan Nasi Bungkus.
Meme yang sempat beredar di media sosial. Gambar Garda Metal diidentikkan dengan sebutan Pasukan Nasi Bungkus.

Hal yang sama ketika aksi 411 dilakukan. Ada saja yang menuduh para peserta yang hadir diberikan bayaran. Jumlahnya fantastis, hingga 500 ribu per orang. Namun lagi-lagi tuduhan ini dibantah. Mereka yang ikut aksi mengaku datang atas kesadaran sendiri. Tidak mungkin dalam aksi yang dihadiri kurang lebih 2 juta orang itu, peserta datang karena bayaran. Nggak akan sanggup. Bisa tekor bandar.

Dalam aksi itu ada element buruh yang menamakan Gerakan Pekerja Muslim Indonesia (GPMI) dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Saya menjadi saksi, kehadiran buruh dalam aksi 411 bukan karena bayaran. Buruh, dalam hal ini KSPI dan FSPASIm juga turun dalam aksi 212. Semacam kesadaran, bahwa hukum harus ditegakkan.

Buruh melakukan aksi pada tanggal tersebut, karena ada irisan isu yang sama: Ahok. Dalam hal ini, kita menilai ada permasalahan di dalam hal penegakan hukum. Buruh turun untuk menyuarakan equality before the law, kesamaan di hadapan hukum. Setinggi apapun jabatan yang ada di pundaknya.

Selain soal aksi bayaran, sampah pun menjadi persoalan. Dikatakan, aksi hanya menyisakan sampah yang menggunung. Ironisnya lagi, merusak taman. Bukan simpati yang didapat, tetapi justru hujatan, cacian, dan cibiran.

Tetapi kemudian kita belajar dari kesalahan. Dalam setiap aksi, saya mulai mendengar ada banyak orang yang mengingatkan ketika ada peserta aksi lain yang menginjak rumput.

“Jangan sampai aksi kita jadi fitnah dan hanya diberitakan buruknya,” demikian mereka mengingatkan. Bahkan, di sepanjang jalan, ada petugas yang berjaga. Lengkap dengan spanduk agar tidak merusak taman.

Menjaga taman agar tidak terinjak-injak oleh massa. (Foto: Kahar)
Menjaga taman agar tidak terinjak-injak oleh massa. (Foto: Kahar)

Hal yang dahsyat terjadi dalam 212 kemarin. Beberapa saat usai acara digelar, sudah bersih kembali. Sekitar jam 14.00 wib, ketika saya dan istri berjalan dari Istiqlal menuju Monumen Nasional, di tengah jalan menjumpai banyak peserta aksi yang bahu-membahu membersihkan sampah. Beberapa saat setelah acara usai, lapangan Monas sudah bersih. Saya mendapati beberapa orang sedang berbaris. Nampaknya mereka yang pulang terakhir, adalah bagian dari massa aksi yang terlebih dahulu membersihkan sampah. Sungguh indah.

Buruh juga melakukan hal yang sama. Mereka juga turun tangan, ikut dalam aksi bersih-bersih.

Buruh melakukan aksi bersih-bersih dalam aksi 212 (Foto: Rusdi)
Buruh melakukan aksi bersih-bersih dalam aksi 212 (Foto: Rusdi)

Setelah aksi 212, ada semacam aksi tandingan. Kali ini dilakukan pada 412. Beberapa orang yang terlibat dalam 412 adalah mereka yang gemar mengkritik aksi 412. Dan jika benar 412 adalah tandingan 212, ini merupakan anomali.

Usai aksi 412 yang bertajuk Parade Aksi Kita Indonesia dilakukan, banyak kawan yang meminta tanggapan saya. Dalam foto yang saya terima, terlihat sampah berserakan dimana-mana. Juga taman yang rusak. Ada juga anak kecil yang menangis karena kehilangan ibunya saat mengikuti aksi. Tak hanya itu, ada pula massa yang diketahui mendapat bayaran.

Bahkan aksi 412 dihiasi dengan atribut dari tiga partai, yakni PPP, Partai Nasdem, dan Golkar. Aksi ini juga diisi oleh pidato dari masing-masing ketua umum partai. Padahal, sebelumnya, selalu ada tuduhan bahwa aksi-aksi gerakan rakyat ditunganggi kepentingan elit politik tertentu. Jika sudah begini, siapa yang menunggangi apa?

Foto ini beredar luas di media sosial. Sampah, atribut partai, dalam aksi 412
Foto ini beredar luas di media sosial. Sampah, atribut partai, dalam aksi 412

Tulisan ini tidak untuk membandingkan aksi 212 yang kata Puthut EA hampir semua media massa melaporkan dengan nada positif: massif, tertib, rapi, dan bersih; sedangkan aksi 412 merupakan aksi tandingan tak berkelas. Sama sekali bukan.

Tulisan ini hanya ingin menegaskan, bahwa manajemen aksi tidaklah mudah. Jika kalian nyinyir terhadap aksi-aksi buruh, belum tentu ketika kalian mengelola sebuah aksi, bisa sebaik dan semilitan aksi yang dilakukan oleh mereka yang selama ini kalian caci maki itu.

Intinya, kalau tidak ingin terpecik muka sendiri, jangan menepuk air di dulang. Begitu, Cuy…. (*)