Hilangnya Motor Seorang Pejuang Buruh

Bogor, KPonline – Aku menjalani rutinitas pagi hari seperti hari-hari sebelumnya. Setelah sholat Subuh berjamaah di musholla dekat rumahku, lalu sarapan pagi bersama dengan 3 orang anak dan istriku yang sudah 15 tahun ini menemani.

Seperti biasanya pula, nasi uduk 5 bungkus dan 5 buah gorengan menemani pagi kami. Setiap hari. Ya, pagi yang selalu berulang.

Bahkan aku lupa. Sudah berapa tahun mengalami rutinitas pagi yang seperti ini. 

Namaku Heri. Kawan-kawan buruh di pabrik tempatku bekerja memanggilku dengan panggilan, Jon.

Sebagai Wakil Ketua PUK bidang Advokasi seringkali aku harus berhadapan langsung dengan HRD atau bahkan pemilik perusahaan. Takut. Jangan ditanya. Tapi itu dulu. Sekarang rasa takut itu seperti hilang dengan sendirinya. Seiring waktu rasa takut bertemu dengan pemilik perusahaan seakan sirna, toh sebagai buruh aku pun merasa memiliki perusahaan. Di sini, aku sudah mengabdi hampir 20 tahun lamanya. 

Di pabrik tempatku bekerja, aku diberikan kepercayaan oleh pimpinan untuk menjadi leader di bagian mesin hand molding. Sebuah area kerja dimana sering aku tinggalkan jika ada instruksi organisasi. Apalagi sebagai Koordinator Lapangan Garda Metal di PUK, kesibukanku di organisasi hampir menyita seluruh waktu istirahatku.

Tetapi sudah kuikhlaskan segala sesuatunya. Karena aku yakin, akan indah pada waktunya. Dimana kaum buruh bahagia atas kesejahteraan yang diterimanya. Hanya itu tujuanku saat ini. 

Beberapa tahun yang lalu, aku terlalu sibuk dengan lemburan. Hingga melupakan bagaimana perjuangan kawan-kawan buruh diluar sana.

Dengan upah sedikit diatas UMK yang aku terima setiap bulannya, meskipun tidak cukup, istriku selalu mengatakan cukup dan dicukup-cukupi. Ach, bisa dibayangkan bukan, dengan upah sedikit diatas UMK dengan kebutuhan 5 anggota keluarga?

Untungnya, mertuaku merelakan sepetak ruangan untuk kami berlima sebagai tempat berteduh. Seandainya aku harus mengontrak rumah, berapa lagi biaya yang harus aku keluarkan? Tak terbayang.

Di saat aku menerawang dan bergelut dengan kegelisahan, ada SMS masuk. Setelah kulihat, dari Koordinator Area Garda Metal.

“Seluruh Korlap dan barisan pengamanan buruh kumpul di posko Jamkeswatch sore ini. Rapat teknis lapangan buat aksi besok.” Begitu bunyi SMS yang tertera di telepon seluler “jadul” milikku.

Instruksi yang kejam sekali, bukan? Datang kapan saja. Tak peduli si penerima pesan sedang ada kesibukan apa.

Tetapi, bagiku, mentaati instruksi organisasi adalah sebuah keharusan dalam kamus hidupku.

Tidak berapa lama, telepon selulerku berbunyi lagi. Kali ini istriku yang SMS. “Pak jangan lupa, entar malem Jundi mau pinjam motor, mau kerja kelompok katanya”.

Kubalas saja dengan singkat. “Aku ada rapat Garda Metal.”

Biasanya istriku akan paham dan maklum. Motor transmisi matik yang sudah menemaniku 5 tahun ini. Pajaknya sudah mati, dan BPKB-nya aku “sekolahkan” waktu Jundi mau masuk SMK. 

Jundi, anakku yang kelas 1 SMK saat ini memang sedang banyak tugas dari sekolahnya. Gambar mesin ini, bikin gambar itu. Tak mengapa. Toh apa yang aku lakukan setiap hari, aku lakukan demi anak-anakku, demi masa depan mereka. Jangan sampai seperti Bapaknya, yang hanya lulusan SMA.

Ingin rasanya membelikan Jundi sepeda motor untuk dia pulang dan pergi sekolah. Tapi, apalah daya. Untuk kebutuhan sehari-hari saja rasanya sudah seperti “mati rasa”. Apalagi kalau nanti upahku masih saja murah.

Oh ya, bagaimana dengan kawan-kawan buruh yang dibayar dengan upah Padat Karya? Pasti makin sengsara hidupnya.

Diiringi hujan deras, kuterjang genangan air disepanjang jalan Wanaherang. Sampai di Posko Jamkeswatch, sudah ramai dengan kawan-kawan buruh dari berbagai macam federasi dan berbagai bendera serikat pekerja. Maklum, hari ini adalah rapat forum kawasan industri, untuk pengawalan terhadap Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor. Para buruh dari berbagai serikat dan aliansi pasti akan turut serta. Tak mau ketinggalan, aku bertekad untuk selalu menjadi bagian dari perjuangan Kaum Buruh. 

Rapat selesai. Satu persatu kawan-kawan buruh mulai meninggalkan tempat acara. Begitu juga aku. Tapi, aku tak menemukan dimana motorku.

Aku yakin, aku parkirkan motorku di sini. Semua kawan-kawan buruh yang masih ada ditempat panik. Beberapa orang langsung membagi tugas kesana dan kemari.

Motorku hilang. Yaa motorku raib diambil orang.

Aku hanya bisa tertunduk lemas.

“Apa yang harus aku katakan kepada istriku. Kepada Jundi.”

Kusandarkan kepalaku ditembok yang sudah luntur warna catnya. Kredit motor lagi? Lapor ke pihak yang berwajib? Belum beranjak dari tempat dudukku, karena aku pun bingung dan tak mampu untuk berbuat apa-apa. 

Mungkinkah aku kredit motor lagi. Sedangkan kenaikan upahku dihitung berdasarkan PP 78/2015 ?