Hidup Mati Buruh Jaba Garmindo

Jika bagi pengusaha, pailitnya sebuah perusahaan selalu berkaitan dengan untung rugi. Bagi buruh, pailitnya perusahaan berkaitan dengan hidup mati.

Bagi buruh, upah merupakan satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup diri dan keluarganya.

Karena itu, tidak berlebihan jika Mahkamah Konstitusi dalam salah satu putusannya mengatakan, “Pembayaran upah pekerja yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis.

Lagipula, secara sosial ekonomi kedudukan buruh lebih lemah dibanding pengusaha. Maka upah buruh harus dibayar sebelum kering keringatnya. Bahkan kewajiban terhadap negara pun berada pada tingkat yang lebih rendah setelah upah buruh. Negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya.

Berkaitan dengan hal itu, saya memahami jika hari Selasa (27/7) kemarin, buruh Jaba Garmindo mengamuk di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lantaran tuntutan pembayaran gaji mereka tak direalisasikan oleh hakim pengawas.

Lapar tidak bisa kenyang dengan janji. Tidak juga dengan kata-kata indah, seperti yang kita baca dalam peraturan dalam perundang-undangan yang menjamin hak-hak buruh menjadi prioritas utama untuk dibayarkan.

Pernahkan kalian tahu bagaimana rasanya selama dua kali lebaran bertahan di tenda perjuangan tanpa gaji? Pernahkah kalian merasakan kehujanan di saat malam sedang dingin, tidur beratap langit beralaskan kardus, saat harus menjaga agar asset perusahaan tidak dijarah orang-orang tidak bertanggung jawab? Pernah tahu betapa perihnya hati yang teriris ketika mendengar anak-anak menangis, hanya karena kita tidak mampu memberinya uang untuk jajan. Jika belum pernah merasakannya, tanyakan pada buruh Jaba Garmindo. Mereka sudah kenyang itu semua.

Tetapi tega sekali orang-orang yang memiliki kuasa untuk memutuskan, menahan hak mereka lebih lama lagi.

Jika hingga saat ini mereka masih bertahan. Melawan. Itu karena mereka memiliki keyakinan, bahwa mereka memiliki hak atas tanah, bangunan, dan mesin-mesin yang dilelang pasca perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit. Bagi buruh, semua asset perusahaan dibeli dengan tenaga dan keringat mereka. Mereka hanya ingin menuntut apa yang menjadi haknya: upah yang terhutang dan uang pesangon.

Sebagian dari mereka sudah berusia senja. Bahkan ada yang bekerja 30 tahun lamanya. Pengabdian yang panjang. Ketika kemudian perusahaan bangkrut, pengabdian sepanjang itu seolah tiada makna.

Buruh tahu, dari penjualan asset perusahaan sudah terkumpul dana kurang lebih 110 milliar. Sudah ada dana. Setidaknya untuk membayar upah yang terhutang dan pesangon buruh. Sempat ada janji, upah buruh yang terhutang akan dibayarkan 45 persen terlebih dahulu. Mestinya, kemarin, Hakim Pengawas melakukan penetapan. Tetapi hal ini pun tak kunjung dilakukan.

Bagi buruh, upah merupakan satu-satunya sumber untuk mempertahankan hidup diri dan keluarganya. Karena itu, kita mendesak Hakim Pengawas, Kurator, dan Para Kreditur untuk segera memberikan hak buruh Jaba Garmindo. Bukan hanya sebulan dua bulan 2.000-an buruh Jaba menanti. Beri mereka kepastian.

Kepada Menaker Hanif Dhakiri, masihkan Anda menganggap nasib buruh Indonesia baik-baik saja? Datanglah ke Cikupa, Pak. Lihat nasib kami…. (*)