Bogor, KPonline – Perselisihan Hubungan Industrial masih sering kerap terjadi dimana-mana, di pabrik-pabrik, di kantor-kantor, dimanapun. Selama ada hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, perselisihan Hubungan Industrial akan selalu ada.
Hanya waktu yang akan menjawabnya, entah sekarang atau nanti. Bentuk-bentuk perselisihan Hubungan Industrial pun macam-macam bentuknya.
Banyak pula penyebab dari timbulnya perselisihan Hubungan Industrial. Bagaimanakah cara atau manajemen yang baik dalam menyelesaikan perselisihan Hubungan Industrial?
Dalam tatanan adat Sunda, ada sebuah pepatah yang berbunyi, “Herang Caina, beunang laukna”.
Secara umum, pepatah Sunda ini berarti, bening airnya dapat ikannya, atau bisa juga berarti, kita mendapatkan ikannya tanpa harus membuat keruh airnya.
Pepatah Sunda ini begitu dalam maknanya, dan dibutuhkan pemahaman yang baik dalam memaknai arti dari pepatah tersebut.
Secara terbuka dan umum, pepatah Sunda tersebut bisa dimaknai dengan berhasilnya apa yang kita inginkan tidak lantas menimbulkan akibat buruk bagi orang lain atau tidak menimbulkan konflik.
Keinginan kita, cita-cita kita sebagai seorang pribadi, dapat kita capai tanpa harus melukai orang lain. Tujuan kita atau apapun yang kita lakukan, tidak merugikan orang lain.
Apakah harus seperti itu? Selintas apa yang sudah dipaparkan diatas ada baiknya juga. Apa yang kita lakukan, jangan sampai merugikan orang lain.
Kepentingan kita, baik secara perorangan atau kolektif, tidak merugikan kepentingan orang lain dan atau orang banyak lainnya.
Pepatah Sunda tersebut sangat sejalan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia, kemajemukan adat istiadat dan berbagai perbedaan yang dapat disatukan didalam Kebhinnekaan Tunggal Ika.
Tepo seliro, tenggang rasa dan saling hormat-menghormati adalah bagian yang tak terpisahkan dari ragam bangsa besar ini.
Bagaimana dengan pelaksanaannya dalam pergerakan dan perjuangan kaum buruh, dalam menghadapi tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan oleh oknum-oknum pengusaha, dengan menggunakan tangan dan kaki oknum-oknum aparat negara?
Bagaimana mungkin kita mendapatkan ikan, tanpa harus membuat keruh air telaganya? Bagaimana bisa menyelesaikan perselisihan Hubungan Industrial, jika saja selalu pihak pengusaha yang menjadi pemicu timbulnya perselisihan tersebut.
Apalagi jika sudah ada, oknum-oknum pejabat dan oknum-oknum aparat, yang turut serta “bermain-main” di pinggiran telaga. Bahkan sering kali, mereka “bermain” ke tengah, hanya untuk mengisi pundi-pundi dan kantong pribadi dari sesuatu hal yang tidak halal.
Masihkah ada celah bagi kaum buruh, agar tetap bisa menjaga telaga, agar tetap tenang dan tidak membuat keruh?
Bisa saja hal tersebut dilakukan, asalkan oknum-oknum pejabat dan oknum-oknum aparat yang tidak jelas kepentingannya itu tidak serta merta hadir didalam sebuah perselisihan Hubungan Industrial.
Masihkah ada jalan bagi kaum buruh, agar Hubungan Industrial tetap berjalan dengan baik, harmonis dan berkeadilan? Mungkin saja hal tersebut dijalankan, asalkan ada itikad baik dari pihak pengusaha dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan Hubungan Industrial.
Karena seringkali pihak pengusaha berpura-pura tidak mendengar setiap keluh kesah buruh-buruhnya. Bahkan kerap kali menutup mata dan masa bodoh dengan segala permasalahan yang ada.
Herang caina, beunang laukna, membutuhkan komitmen yang kuat dari pihak-pihak terkait. Keruhnya penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, lebih condong merugikan kaum buruh.
Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi buram, sengaja diburamkan, dengan dalih menyelamatkan nama baik perusahaan. Bahkan bisa saja, penyelesaian kasus-kasus perselisihan Hubungan Industrial akan menjadi gelap, segelap nasib kaum buruh. (RDW)