Hadang RUU Kesehatan, Jamkeswatch Siapkan Perlawanan Apapun Caranya

Surabaya, KPonline – Lembaran sejarah mencatat, lahirnya Sistem Jaminan Sosial di Indonesia adalah merupakan buah dari perjuangan kaum buruh, organisasi pekerja, dan elemen masyarakat lainnya melalui Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).

Kala itu KAJS bergerak melalui berbagai cara, mulai dari diskusi, lobby, menjadi fraksi balkon, hingga sampai melakukan aksi demonstrasi besar-besaran, yang tak terhitung jumlahnya di seluruh Indonesia, sehingga Jaminan Sosial akhirnya diwujudkan dan BPJS pun secara bersamaan didirikan.

Hari ini (Minggu, 05/03/23), melalui RUU Omnibus Law Kesehatan, pemerintah berupaya merubah, bahkan bisa dikatakan mendegradasi dan ingin mengangkangi Jaminan Sosial beserta lembaga negara penyelenggaranya.

Jamkeswatch, selaku sayap organisasi pekerja yang fokus memantau implementasi sistem Jaminan Sosial di Indonesia, saat ini dirasa perlu untuk segera mengambil sikap dan langkah konkrit, demi mengantisipasi segala macam bentuk kebijakan, yang nantinya bisa berdampak negatif atau bahkan merugikan seluruh kalangan masyarakat dalam memperoleh hak perlindungan Jaminan Sosialnya.

Saat di wawancarai oleh team KPOnline, Ipang Sugiasmoro selaku Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran Jamkeswatch Nasional, secara tegas mengatakan menolak RUU Kesehatan tersebut untuk di sahkan menjadi UU, karena di anggap menyesatkan dan membahayakan.

“RUU Kesehatan ini sesat dan menyesatkan. Tidak hanya mengancam independensi dan eksistensi Jaminan Sosial, namun juga pengkhianatan atas perjuangan buruh dan pembelokan hukum. Jamkeswatch dengan tegas menolak RUU Kesehatan”, Tegasnya.

RUU Kesehatan yang di duga akan di bentuk dan di sahkan menggunakan metode UU Omnibus Law Cipta Kerja, seakan mengorek kembali luka kaum buruh dan masyarakat pada produk hukum yang sebelumnya telah mendapatkan reaksi penolakan keras dari seluruh kalangan masyarakat tersebut. Sebuah luka yang memborok, dirobek lagi, lalu disiram dengan air cuka. Pedih perih tiada terkira.

Berkaca dari rekam jejak proses pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, beberapa waktu lalu sebelum di sahkan oleh Pemerintah, masyarakat sedikit banyak telah belajar dan paham, saat detik-detik awal perancangan UU Cipta Kerja, yang di mulai dari dipaksa masuk Prolegnas tanpa status urgensi, draft UU yang tidak jelas dan berubah-ubah, judul dan substansi yang tidak relevan, dibahas maraton saat pandemi, tidak adanya partisipasi publik, ditetapkan tengah malam, digugat lalu ditangguhkan Mahkamah Konstitusi, bahkan diakali melalui PERPU serta seambreg kenyataan pahit lainnya. Betapa kejamnya pemerintah kepada masyarakat nya, jika sampai proses pembentukan RUU Kesehatan ini, juga mengambil cara yang sama, seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Selain itu, terbaca juga dalam RUU Kesehatan, laporan segala bentuk pertanggung jawaban kinerja BPJS kedepannya, tidak lagi langsung kepada Presiden sesuai amanah UU saat ini, akan tetapi melalui kementerian dan akan diberikan penugasan oleh kementerian diluar dari kewajibannya. Dan jika sampai hal tersebut terjadi, di khawatirkan akan menimbulkan pembelokan hukum, mempreteli independensi BPJS, mengancam keberlangsungan sekaligus menghambat implementasi Jaminan Sosial.

Hal itu tidak hanya akan melahirkan oligarki dan komersialisasi pada Jaminan Sosial, namun juga mendegradasi bahkan mengeliminasi hak warga negara, serta tumpang tindih implementasi pelaksanaan kebijakan.

Pemerintah saat ini tentunya tidak sedang pura-pura hilang akal, BPJS adalah badan hukum publik dan Jaminan Sosial adalah tujuan bernegara serta hak konstitusional warga negara yang dijamin undang-undang dasar 1945.

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah tentang Dana Jaminan Sosial (DJS) yang disebut dana amanat. DJS adalah uangnya rakyat, uangnya umat, bukan uangnya pemerintah, bukan pula uangnya kementerian atau pejabat. BPJS dititipi amanah mengelola DJS, bahkan 1 rupiah pun harus dipertanggungjawabkan. Dana amanat hanya boleh dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta, tidak untuk hal lain.

Terlebih mengingat saat ini perputaran DJS yang sangat besar, di BPJS Ketenagakerjaan sendiri kurang lebih ada DJS peserta sekitar 600 Triliun dan DJS peserta sebesar 200 Triliun di BPJS Kesehatan. Maka dengan hadirnya RUU Kesehatan ini, akan sangat rawan terjadi politisasi dan monetisasi Jaminan Sosial.

Sudah dana amanat memungkinkan untuk dijadikan bancakan, Jaminan Sosial pun dijadikan alat kekuasaan dan alat untuk menghasilkan uang mengeruk keuntungan.

Menambahkan keterangan itu, Ketua Koordinator Wilayah Jamkeswatch Jawa Timur, yakni Nurrudin Hidayat, membeberkan rencana aksi penolakan sebagai bentuk perlawanan terhadap RUU Kesehatan.

“Kita akan menggalang kekuatan bersama organisasi Serikat Pekerja, Serikat Buruh, Asosiasi Profesi, Asosiasi lintas sektor, Partai Buruh dan elemen masyarakat lainnya untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menolak RUU Kesehatan,” Ucapnya.

Menurutnya, Jaminan Sosial adalah tulang punggung dan palang pintu terakhir kesejahteraan sosial. Tanpa Jaminan Sosial tidak akan ada kesejahteraan sosial. RUU Kesehatan ini tidak hanya membahayakan Jaminan Sosial tetapi juga mengkhianati perjuangan buruh dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

“Dulu, kita kaum buruh mendorong lahirnya Jaminan Sosial dengan berbagai usaha, selama ini kita juga mengawal pelaksanaannya dengan berbagai upaya, maka sekarang kita harus mempertahankannya, apapun caranya !!!” Tegasnya.

Sebagai informasi, di dalam RUU Omnibus Law Kesehatan saat ini, terdapat 9 UU yang akan dicabut, 4 UU yang dirubah dan 1 UU yang belum jelas statusnya. Berkaca dari efek negatif yang terjadi semenjak di sahkannya UU Cipta kerja, seperti contoh kesejahteraan buruh yang semakin terpuruk, dampak negatif RUU Kesehatan ini juga akan sangat luas jika sampai di sahkan, tidak hanya dari sisi Jaminan Sosial atau soal kesehatan saja sebagaimana judulnya.

Apabila RUU ini dipaksakan menjadi sebuah ketentuan hukum tanpa mempertimbangkan penolakan masyarakat. Mungkin sudah saatnya mempertanyakan makna pembukaan UUD 1945, frasa “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”, atau bahkan lebih ekstremnya mempertanyakan makna frasa “… membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia…”,.

Sehat hak rakyat, Sejahtera hak pekerja.

(Bobby/Surabaya)