Gubernur Riau Membangkang Keputusan MK, Kenaikan Upah 2022 Seharga Masuk Toilet Umum

Pelalawan, KPonline– Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Riau kembali melaksanakan aksi damai menuntut kenaikan upah mengacu kepada UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2015, di Kantor Gubernur Riau, Jl. Jend. Sudirman, No. 460, Jadirejo, Kec. Sukajadi, Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (30/11/2021).

Di hari yang sama, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar telah menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Provinsi Riau Tahun 2022, tanpa mendengarkan suara aspirasi buruh yang berbaris tegak dibawah teriknya matahari, yang bersuara lantang mengharapkan keadilan terhadap buruh di Bumi Lancang Kuning ini.

Bacaan Lainnya

Aksi penolakan kenaikan upah murah dari buruh FSPMI bukan kali ini saja, aksi penolakan ini juga sudah dilakukan ditingkat Kabupaten, khususnya buruh FSPMI di Kabupaten Pelalawan, Kamis (25/11/2021) yang saat itu Bupati Kabupaten Pelalawan Zukri telah merekomendasikan UMK Kabupaten Pelalawan sebesar 2%.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (25/11/2021) yang lalu, dikutip dari amar putusan nomor 7 tersebut sangat jelas ada 2 frasa yaitu:
1. Menangguhkan peraturan yang sudah ada bersifat strategis dan berdampak luas
2. Tidak boleh menerbitkan peraturan turunan Omnibus Law yang baru.

Ada pun tuntutan aksi massa buruh FSPMI, Selasa (30/11/2021) sebagai berikut:
1. Cabut SK UMP dan UMK Tahun 2022
2. Tetapkan UMP dan UMK Tahun 2022 dengan PP 78 Tahun 2015
3. Patuhi putusan MK tentang Omnibus Law Cipta Kerja sesuai amar putusan No. 7
4. Revisi SK UMP dan UMK di Provinsi Riau Tahun 2022.

Ketua DPW FSPMI Provinsi Riau Satria Putra mengatakan, “Aksi damai kita dan kawan-kawan hari ini akan kawal Gubernur Provinsi Riau untuk menetapkan UMP dan UMK tahun 2022 dengan menggunakan PP 78 tahun 2015 dan tidak menggunakan PP 36 tahun 2021 produk turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja, yang kita ketahui bahwasanya yang menyangkut kebijakan strategis termasuk upah adalah kebijakan yang menyangkut orang banyak, tidak bisa menggunakan PP 36 tahun 2021 undang-undang Cipta Kerja itu sendiri sesuai keputusan MK amar no. 7, kita buruh FSPMI dan Aliansi Buruh Riau Bersatu janji akan mengawal bahwasanya aspirasi kita ini akan ditembuskan dan diteruskan serta menjadi pertimbangan khusus bagi Gubernur Riau dalam penetapannya nanti, dan kita berharap ketetapan upah tahun 2022 tetap menggunakan PP 78 tahun 2015,” jelas Satria dihadapan awak media.

“Kenaikan upah kami tak sampai Rp, 2000 per hari, makanya kami ikut turun aksi menuntut kenaikan upah bang, saya pergi merantau ke Riau ninggalin anak, istri bang, tapi apa? Upah yang kami perjuangkan selama ini gak cukup buat bayar toilet umum,” ucap salah satu aksi demo saat diwawancarai media.

Pena menari-nari diatas kertas, dibawah kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional pasca putusan Mahkamah Konstitusi, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar meneken Surat Keputusan (SK) UMK tahun 2022.

Dikutip dari lansiran laman https://www.riau.go.id › 2021/11/30

Penetapan UMK 12 kabupaten/kota tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: Kpts.1272/XI/2021 tentang UMK di Provinsi Riau Tahun 2022, tertanggal 30 November 2021.

“Hari ini pak Gubernur sudah meneken SK penetapan UMK di Provinsi Riau tahun 2022,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, H Jonli, Selasa (30/11/2021).

Jonli mengatakan, penetapan UMK di Provinsi Riau tersebut sesuai dengan formula Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dari kutipan berita yang dilansir https://www.riau.go.id › 2021/11/30, LBH FSPMI Provinsi Riau mengatakan, “Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor : Kpts. 1272/XI/2021 point nomor 7, Jelas!!! Gubernur Riau menetapkan UMK tahun 2022 mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja,” tegas Nofri Hendra.

“Dalam hal ini, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar membangkang putusan MK yang dimaksud dalam
amar putusan no. 7 adalah sebagaimana diuraikan dalam butir 3.20.5, halaman 414 yaitu MK tidak menginginkan berlakunya UUCK selama 2 (dua) tahun ke depan akan menimbulkan dampak yang lebih besar sehingga untuk menghindari munculnya masalah tersebut MK dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan UUCK yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu,” jelas Nofri Hendra saat diwawancarai awak media setelah menerima data kenaikan upah tahun 2022.

“Bagi buruh, dimaksud dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas adalah segala pengaturan yang terkait dengan soal pengupahan, soal pekerja kontrak (PKWT), soal outsourching, soal pesangon, soal PHK, soal tenaga kerja asing, dan pengaturan mengenai hari kerja dan cuti, oleh sebab itu, dengan mendasari pada pertimbangan hukum MK sebagaimana dinyatakan pada angka 3.20.5 dan amar putusan yang dinyatakan pada butir ke-7, maka Konfederasi Serikat Pekerja Indoensia (KSPI) meminta agar seluruh pengaturan ketenagakerjaan yang diatur dalam UUCK berikut aturan turunannya harus ditunda atau ditangguhkan pelaksanaannya,” tambah Nofri Hendra.

“Dengan demikian, implikasi hukum atas penundaan atau penangguhan aturan UUCK berikut aturan turunannya itu adalah pengaturan mengenai upah, pekerja kontrak, outsourching, pesangon, PHK, tenaga kerja asing, hari kerja, dan pengaturan soal cuti harus tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya,” tutupnya.

(RNH)

Pos terkait