Golnya RUU PPP, Kemungkinan Penguasa Main Mata dengan Pengusaha

Purwakarta, KPonline – Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), hakim menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Dimana, kelas pekerja atau kaum buruh menggugat Undang-undang tersebut melalui Judical Review (JR).

Menurut MK, metode pembuatannya tak sesuai dengan UU PPP. Namun, MK memberikan kesempatan kepada DPR untuk merevisi Undang-undang tersebut hingga batas waktu 2023. Jika tidak direvisi, maka “Omnibuslaw” Inskontitusional “permanen”.

Bacaan Lainnya

Dan pada akhirnya demi untuk memuluskan Omnibuslaw tersebut, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pun direvisi.

Kemudian, Revisi Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) pun disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021 – 2022 di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa, 24 Mei 2022.

Kembali sedikit mengulas bahwa banyak perubahan dalam undang-undang Cipta Kerja. Diantaranya adalah pasal 88 UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan pun dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Realistis dan wajar bila kelas pekerja atau kaum buruh menolak Omnibuslaw tersebut. Karena terjadi degradasi kesejahteraan disitu.

Dua pertanyaan, kenapa pemerintah begitu ngototnya merevisi UU no 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Apakah penguasa sudah bermain mata dengan pengusaha “mengkonstitusionalkan” Undang undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?

Pos terkait