Ekasan : Saatnya BPJS Ketenagakerjaan berbenah dalam membuat kebijakan / aturan baru

Syarat Pengamnbilan JHT ( Foto : Eksan )

Batam, KPOnline – Tanpa sosialisasi tanpa surat edaran dengan waktu yang mepet para buruh harus menghadapi kebijakan baru.

Terkait aturan pencairan dana JHT yang terbaru bahwa :
1. Saldo JHT hanya dapat dicairkan apabila kepesertaan minimal 10 tahun dengan ketentuan :
a. Untuk persiapan Hari tua saldo yang dapat diambil hanya sebesar 10%
b. Untuk pembayaran perumahan saldo yang dapat diambil hanya 30%
2. Seluruh saldo JHT hanya dapat diambil saat memasuki usia 56 tahun.

Bacaan Lainnya

Pertanyaannya :
1. Saldo untuk Buruh kontrak (rata-rata kontrak maksimal hanya 3 tahun) bagaimana cara pencairan nya?
2. Sudah adakah aturan atau surat edaran terkait prosedur baru pencairan dana JHT tersebut?
Kenapa selalu mendadak dan tanpa dikaji dulu kebijakannya dengan melibatkan unsur pekerja dalam hal ini melalui perwakilan Serikat pekerja atau serikat buruh, dipaksakan berjalan dalam waktu sangat singkat seperti dalam aturan baru pencairan dana JHT tersebut.

Syarat Pengamnbilan JHT ( Foto : Eksan )
Syarat Pengamnbilan JHT ( Foto : Eksan )

Logikanya sebagai contoh berikut :
ada karyawan kontrak hanya bekerja 3 tahun di pabrik, selanjutnya tidak lagi menjadi pekerja atau buruh — disaat bersamaan aturannya adalah saat usia 56 tahun baru bisa diambil. Sedangkan mayoritas pekerja atau buruh saat ini belum pada paham prosedur pengambilan dana JHT, atau katakanlah pekerja atau buruh ini enggan mengurus pencairan dana JHT yang semakin ribet ini akan timbul pertanyaan lagi : akan kemanakah dana tabungan JHT pekerja atau buruh yang tidak terurus tersebut?
Tidak sedikit lho, katakanlah selama 3 tahun terakumulasi rata-rata sekitar 7,5 juta per pekerja atau buruh kontrak.

Kalau 7,5 juta dikalikan 1 juta jumlah pekerja atau buruh, berapa pundi pundi dana tak bertuan tersebut digunakan?

Padahal belum lama ini BPJS Ketenagakerjaan berniat mengadakan kerjasama dengan investor properti dalam pengadaan perumahan atau rusunawa pekerja.
Akankah dana tak bertuan tersebut digunakan untuk tujuan tersebut?
Sedangkan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa program perumahan atau rusunawa pekerja saat ini malah kepemilikannya tidak tepat sasaran atau bisa dikatakan dimiliki oleh kelompok menengah ke atas ( baca : http://m.republika.co.id/…/nqpvvvd-dihuni-kalangan-berduit-… ).

Apakah selamanya pekerja atau buruh di negeri ini selalu dijadikan subjek membesarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tanpa diberikan kredit point keuntungan balik baginya? Miris.
Tim Media FSPMI Batam.

Pos terkait