DPD GSBI Papua Barat: Rilis UMP Papua Barat Oleh Kemenaker MembohongiPublik

Papua Barat, KPonline – Pandangan Dewan Pengurus Daerah Gabungan Serikat Buruh Indonesia Provinsi Papua Barat tentang Kesejahtraan Buruh atas dasar Permen 13 tahun 2012 tentang 60 Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah, bahwa perubahan, penyesuaian, dan peningkatan kebutuhan hidup layak, dilakukan melalui mekanisme demokratis dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Nasional/Daerah dan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional/Daerah, dengan maksud mewujudkan pencapaian kebutuhan hidup layak hidup menjadi mutlak untuk dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi Papua Barat, sebagai acuan dalam penentuan Upah Minimum Perkerja (UMP) di Provinsi Papua Barat Tahun 2018.

Jika mengacu pada Surat Edaran (SE) Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017, maka seharusnya kenaikan UMP 2018 adalah 8,71 persen.

Maka jelas bahwa acuan upah melalui Dewan Pengupahan Provinsi Papua Barat diduga telah diseragamkan dengan mengacu pada standar nasional yang tidak melihat pada kondisi riil ekonomi di Papua Barat.

Semestinya besaran UMP 2017 dikalikan dengan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yaitu 3,72 persen + 4,99 persen di bagi dengan sisa ANJ Papua Barat 6,5 persen dibagi 2 sama dengan 3,25 persen sehingga besaran UMP mengacu pada inflasi Nasional 8,71 persen.

Sebagaimana hasil sidang dewan pengupahan tertanggal 30 Otober 2017 bertempat di lantai 3 Kantor Gubernur Papua Barat ditetapkanlah UMP Papua Barat sebesar 2.660,700,-.

GSBI Papua Barat yang adalah Anggota Dewan pengupahan melakukan protes dan tidak menandatangani berita acara. Pasalnya , GSBI berpendapat bahwa penentuan UMP tidak mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana tugas dari dewan pengupahan untuk melakukan survei setiap bulannya dan kemudian melaporkan secara priodik kepada Dewan pengupahan nasional sehingga berdampak pada masifnya politik upah murah yang bermuara pada terjadinya mal-administrasi, dimana ada keterwakilan serikat buruh siluman ikut menandatangani berita acara hasil pleno sidang dewan pengupahan.

Sikap DPD GSBI kemudian mendapat dukungan penuh dari seluruh Fraksi Gabungan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Pada tanggal 30 Oktober Jam 4,00 wit bertempat di gedung DPR PB, melalui Sidang Paripurna DPR PB untuk penetapan sidang APBD-P tahun 2017 mengatakan mendukung perjuangan GSBI terkait besar UMP Papua Barat sebesar 3.900,000,- dan meminta kepada Gubernur papua Barat untuk menyetujui perjuanagn DPD GSBI Papua Barat.

Pada Tanggal, 31 Oktober 2017 bertempat di Kantor DPR PB, Gubernur Papua Barat, melalui Sekda Provinsi Papua Barat di hadapan sidang Paripurna DPR PB, membacakan surat tanggapan terhadap rekomendasi dari DPR PB terkait perjuangan DPD GSBI yang tidak menyetujui penandatanganan berita acara hasil pleno sidang dewan pengupahan.

Dalam tanggapan tersebut Gubernur Papua Barat melalui Sekretaris Daerah mengatakan terkait Protes dari GSBI tentang besaran UMP Papua Barat tahun 2017 telah final dan sudah ditandatangani oleh DPD GSBI Papua Barat.

Setelah mendegar tanggapan gubernur atas pembacaan pandagnan gubernur di hadapan Sidang Paripurna DPR PB, Rudy,M.Timisela Anggota DPR Papua Barat dari Fraksi Golkar mengajukan interupsi dan mengatakan, apa yang dikatakan oleh sdr Gubernur yang diwakili oleh sdr sekda terkait DPD GSBI ikut menandatangani berita acara hasil pleno sidang dewan pengupahan itu tidak benar.

Bahkan DPD GSBI Papua Barat sudah mengadu kepada kami di DPR Papua Barat terkait besaran UMP Rp.2,606,700,- dianggap masih jauh dari harapan kebutuhan hidup layak di Papua Barat.

Pihaknya menilai kesepakatan dewan pengupahan tidak berdasarkan tripartit pancasila, tetapi tripartit kapitalis.

Pertanyaan Rudy Timisela menuai banyak interupsi dari beberapa anggota DPR PB salah satunya datang dari Angota DPR PB Fraksi Demokrat, bahwa petanyaan saudara Rudy Timisela tidak pada tempatnya, tidak sesuai substansi.

Gubernur Papua Barat yang mengetahui akan hal tersebut pada tanggal 2 November 2017 mengatakan kepada semua media baik cetak dan elektronik di papua barat, bahwa pihaknya tidak akan menyetujui besaran UMP Papua Barat sebesar Rp.2606,700,- mengingat kondisi tingkat kebutuhan hidup di papua barat berbeda dengan pulau jawa, sehingga pihaknya berharap Dewan Pengupahan melalui Disnaker Papua Barat dapat melakukan pertemuan ulang dengan semua pihak terkait untuk menghitung besaran UMP Papua Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi di Papua Barat.

GSBI yang belum puas dengan pernyataan Gubernur Papua Barat itu, pada tanggal 3 November 2017 mendatangi kantor DPR Papua Barat dengan tuntutan meminta kepada DPR Papua Barat untuk segera membentuk Pansus agar bertemu Menaker RI agar tidak memberlakukan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan di papua barat; kedua meminta Gubernur Papua Barat meninjau ulang komposisi dewan pengupahan yang terkesan adanya organisasi Buruh siluman yang dijadikan tandingan untuk menyetujui UMP Papua barat; ketiga memberikan Apresiasi kepada DPR PB dan Gubernur Papua Barat yang sudah mendukung perjuangan GSBI terkait perjungan upah dengan tidak menyetujui besaran UMP berdasarkan usulan dewan pengupahan papua barat tertanggal 30 Oktober 2017.

Aksi tersebut kemudian dijawab oleh DPR PB bahwa akan mengawal aspirasi DPD GSBI Papua Barat dan meminta dukungan semua buruh terhadap pihaknya, terkait dengan aksi tersebut di hadapan masa melalui wakil ketua DPR Robert Manibuy dari Fraksi PDIP menyatakan bahwa sudah berkoordinasi dengan Gubernur Papua Barat dan akan dijadwalkan untuk pertemuan ulang terkait dengan pengupahan di papua barat.

Kepala Dinas tenaga kerja dan trasmigrasi, Paskalina Yamlean yang kebetulan berada di Kantor DPR Papua barat bertemu dengan saya, Ketua DPD GSBI Papua Barat Usai aksi, mengatakan hari senin (6/11) akan ada pertemuan ulang membahas UMP Papua Barat, namun sebelumnya pihaknya akan berkoordinasi dengan Gubernur Papua Barat untuk meminta petunjuk.

Ternyata informasi tersebut yang kami peroleh tidak sesuai realita di lapangan yang pada tanggal 6 November 2017 berencana bertandang ke Kantor Gubernur Papua Barat hendak bertemu dengan Gubernur papua barat yang juga adalah ketua Dewan Pembina pada komposisi dewan pengupahan, kaget karena bertempat di lantai 5 kantor DPR Papua Barat bahwa telah terjadi pertemuan antara Disnaker, BPS, pakar, APINDO dan satu Organisasi Buruh siluman.

DPD GSBI yang menyaksikan pertemuan tersebut sempat marah dan menghadang Wakil Gubernur papua Barat, Bapak Muhamad Lakotani untuk menanyakan mengapa pertemuan sepihak ini Disnaker papua Barat tidak mengungdang DPD GSBI untuk ikut menjelaskan kepada Gubernur Papua Barat.

Wakil Gubernur yang ditanya menjawab pertemuan ini hanya sebatas klarifikasi terkait besaran UMP yang sudah diusulkan kepada Gubernur Papua Barat. Setelah mendengar penjelasan Ketua DPD GSBI Papua Barat mengatakan mengapa pihak kami tidak diundang dalam pertemuan ini, tapi Wakil Gubernur mengatakan bahwa “untuk hal itu kami tidak tahu”.

GSBI yang tidak menerima atas pertemuan tersebut mendatangi sejumlah media cetak di papua barat dan melakukan jumpa pers terkait sikap DPD atas posisinya bertahan pada bersaran UMP Papua Barat.

Berdasarkan pada penjelasan Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Papua Barat, Endang Retno Sri Subandini, Selasa (1/8) menjelaskan, inflasi di Papua Barat terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada beberapa, kelompok pengeluaran yakni: kelompok bahan makanan 1,92 persen; kelompok kesehatan 0,33 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,21 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,04 persen; kelompok sandang 0,03 persen; serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,02 persen. Sedangkan kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan adalah kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan -0,81 persen.

‘’Tingkat inflasi tahun kalender Juli 2017 sebesar 2,16 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Juli 2017 terhadap Juli 2016) sebesar 3,28 persen,’’ tandas Ka BPS.

GSBI berpandangan bahwa kenaikan UMP Papua Barat berada pada kewenangan Gubernur sebagai kepala daerah, maka semestinya dewan pengupahan membatu Gubernur untuk membuat keputusan tentang besaran UMP Papau Barat sebagai contoh; Pemprov DKI Jakarta, yang dengan beraninya menaikan UMP sebesar; 8,72% dari UMP 2017 dan besaran UMP yang diperkuat dengan kebijakan gubernur anies baswedan mentapkan Ump 2018 sebesar 11,25% , atau sebesar Rp. 3.600.000,- dan memberlakukan subsidi bagi kebutuhan hidup layak buruh.

Gubernur Papua Barat, Drs, Dominggus Mandacan pada tanggal 6 oktober 2017 melalui media lokal di Manokwari Papua Barat yang terbit tanggal 7 November 2017, mengatakan belum menandatangani UMP Papua Barat. Terkait hal ini, kami GSBI berkesimpulan bahwa rilis terkait besaran UMP Papua Barat oleh Kemenaker RI secara nasional yang telah dipublish pada media nasional merupakan bentuk pembohongan publik, karena informasi tersebut tidak sesuai dengan realitas di lapangan dan hal itu merupakan bentuk pembohongan publik yang berdampak pada munculnya instrumen untuk terjadinya pemaksaan kehendak melanggengkan politik upah murah tetap terjadi di Tanah Papua.

Sampai dengan saat ini GSBI tidak mengetahui bahkan tetap beranggapan bahwa Penetapan UMP Papua Barat 2018 belum final atas permintaan Gubernur Papua Barat. Bahkan anggota DPR PB yang dihubungi melalui telpephon celuler mengaku bahwa pihaknya juga tidak tahu tentang informasi penetapan dan pengesahan UMP Papua Barat termaksud.