Preman Tanah Abang, Ekonomi Berbiaya Tinggi, dan Korban yang Disalahkan

Jakarta, KPonline – Seperti di beritakan cnnindonesia.com, Rabu (8/11/2017), para pedagang di Tanah Abang hampir setiap hari dimintai uang oleh sejumlah preman. Ini adalah pungutan liar. Di luar pungutan resmi yang juga harus mereka bayar.

Besarnya pungutan liar untuk setiap pedagang tidak sama. Tergatung lokasi mereka berdagang. Ada yang seribu hingga sepuluh ribu per hari, ada yang diminta 20 ribu, bahkan ada yang 50 ribu.

Para pedagang mengaku pungutan ini sudah sejak lama dilakukan. Bertahun-tahun yang lalu. Jadi dianggap sudah biasa.

Apakah mereka tidak keberatan? Jika boleh memilih, tentu saja mereka akan memilih agar tidak ada pungutan liar seperti ini. Tetapi karena tak mau ribut dan menghindari ada gangguan terhadap usahanya, mereka rela menyetorkan sejumlah uang.

Alasannya klasik, demi keamanan.

Entah, apakah karena aparat keamanan sudah tak sanggup lagi memberikan rasa aman sehingga urusan ginian harus diserahkan kepada para preman?

Cerita tentang preman Tanah Abang ini kembali mengemuka setelaah Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengungkapkan akan mengajak sejumlah preman Pasar Tanah Abang untuk mendiskusikan konsep penataan kembali kawasan Tanah Abang yang disebut mengalami kemacetan akibat banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di trotoar.

Tidak hanya di pasar. Di kawasan industri, dengan dalih uang keamanan atau sumbangan, hal semacam ini juga terjadi. Sasarannya tentu saja pabrik-pabrik yang berada di kawasan itu.

Kadang ketika lebaran, dengan dalih meminta bantuan Tunjangan Hari Raya (THR), banyak yang memasukkan proposal. Ini belum sejumlah “amplop” yang harus dikeluarkan ketika mengurus perijinan atau semacamnya.

Sejumlah laporan menyebutkan, pungutan liar seperti inilah yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Termasuk korupsi dan infrastruktur.

Ekonomi berbiaya tinggi ini merupakan penghalang bagi investasi. Tetapi anehnya, yang selalu dijadikan kambing hitam adalah buruh. Tuntutan kenaikan upah selalu dijawab dengan perusahaan bangkrut atau tutup karena pengeluaran perusahaan akan bertambah akibat gaji kegedean.

Padahal, buruh sendiri menjadi korban akibat rezim upah murah.

Di Indonesia, nampaknya menyalahkan korban memang hal biasa di zaman now.

Lihat saja. Kalau ada perempuan diperkosa, dibilang salah sendiri berpakaian menggoda. Kalau di PHK, dibilang salah sendiri jadi buruh. Kalau upahnya murah, dibilang salah sendiri nggak jadi pengusaha (biar bisa balas dendam membayar buruh dengan murah).