Di Selasar Instalasi Gawat Darurat

Jakarta, KPonline – Seorang Ibu menangis tersedu-sedu, meratapi anaknya yang sedang sekarat di ruang Unit Gawat Darurat sebuah Rumah Sakit swasta dipinggiran Ibukota. Dan sang Ayah berjibaku mengadu argumentasi dengan salah seorang staff dari bagian administrasi Rumah Sakit tersebut.

Dan aku hanya bisa diam membisu tanpa mampu membantu. Laki-laki itu membentak petugas administrasi dengan mimik wajah yang memancarkan amarah. Bercampur bingung dan putus asa, laki-laki itu pun akhirnya menyerah..pasrah dan tak berdaya..

Dan akhirnya satu nyawa melayang..

Sehat Hak Rakyat sepertinya hanya untuk golongan rakyat yang mampu saja. Tapi golongan rakyat kecil dan miskin hanya akan menjadi penonton dari ketidak adilan yang terjadi setiap harinya. Rakyat miskin selalu menjadi objek hampir dalam setiap kasus kegagalan pemerintah dalam hal kesehatan, yang semestinya hal tersebut tidak terjadi.

Bayangkan saja, setiap menit, setiap jam, setiap hari ada saja orang yang meninggal dunia hanya karena tidak mendapatkan pertolongan medis yang benar dan tepat. Tindakan medis yang benar dan tepat akan menyelamatkan nyawa manusia yang sedang membutuhkan pertolongan medis. Siapakah yang harus disalahkan jika terjadi hilangnya nyawa seorang manusia karena tidak mendapatkan tindakan medis yang segera, secara cepat, benar dan tepat??

Tidak ada seorang pun yang akan mau menanggung beban moral ketika ada nyawa seorang manusia yang melayang sia-sia. Hanya bisa saling menyalahkan satu sama lain, saling lempar tanggung jawab, bahkan seringkali saling tuduh dan tak mau tahu.

Inilah potret kehidupan yang nyata dalam hidup kita sekarang ini. Ketika nyawa dihargai dengan sebuah deretan angka, maka tidak ada lagi yang namanya rasa kemanusiaan, karena yang ada hanyalah keuntungan dan egoisme semata. Ketika nyawa harus dipertaruhkan di sebuah ruang Instalasi Gawat Darurat, maka tidak ada lagi rasa peri kemanusiaan, karena yang ada hanyalah aturan yang menghimpit kemanusiaan.

Kembali kita terngiang akan cita-cita kemerdekaan dari para Pendiri Bangsa,yaitu Masyarakat yang Adil dan Makmur. Jika yang terjadi dalam penanganan pemberian tindakan medis saja manusia harus bertaruh nyawa, maka dimana implementasi Masyarakat yang Adil itu? Apakah harus menjadi “Makmur” dahulu untuk mendapatkan penanganan medis yang benar dan tepat.

Haruskah kita menggugat Para Pendiri Bangsa, ataukah kita sebagai Pewaris Bangsa hanya bisa mengeluh dan menikmati “pemerkosaan” hak asasi yang terjadi setiap hari? Kita seharusnya malu dan “menutup muka” kita jika seandainya saja Para Pendiri Bangsa hidup kembali dan meminta hal-hal mereka.

Kembali ke fitrah kita sebagai manusia untuk saling menyayangi dan mencintai. Sebagai makhluk sosial yang tidak akan mampu untuk hidup sendiri, sudah sepantasnya hidup saling tolong menolong dalam berbagai sendi kehidupan.

Ataukah jangan-jangan kita belum pantas untuk disebut sebagai manusia? Atau jangan-jangan, kita sudah melupakan fitrah kita sebagai manusia?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *