Oleh: Roni Febrianto, ST, M.Fil
Pernahkah kita bertanya, siapa yang sesungguhnya paling berjasa menjaga roda ekonomi digital tetap berputar? Di balik kenyamanan kita memesan makanan lewat aplikasi atau memanggil ojek dengan satu sentuhan jari, ada jutaan pekerja platform—driver online, kurir, dan tenaga jasa lainnya—yang bekerja dalam kondisi yang sangat rentan. Mereka berjibaku di tengah terik matahari dan derasnya hujan, tetapi penghasilan mereka tak lagi menjanjikan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan harian saja kini kian sulit.
Ekonomi platform memang menjanjikan fleksibilitas. Namun di balik janji itu, banyak yang terjerat dalam sistem kerja yang tak adil dan nyaris tanpa perlindungan. Hubungan kerja yang digambarkan sebagai “kemitraan” nyatanya tak lebih dari relasi subordinatif, di mana para pekerja tunduk pada sistem algoritma yang tidak transparan, bekerja tanpa kepastian upah, tanpa jaminan sosial, dan sering kali kehilangan hak dasarnya sebagai manusia yang bekerja.
Sistem algoritma yang digunakan perusahaan-perusahaan ride-hailing kini semakin canggih. Teknologi seperti XAI (Explainable AI) dan Blackbox AI menentukan siapa yang mendapat order, berapa insentif yang diterima, bahkan siapa yang ‘dibunuh’ perlahan-lahan oleh sistem. Tak ada ruang tawar bagi driver. Bahkan mekanisme ini dirancang untuk mengatur semuanya dari balik layar—tanpa penjelasan, tanpa keadilan. Pendapatan mereka bisa turun drastis tanpa sebab yang jelas. Insentif berubah sewaktu-waktu. Dan tragisnya, tak ada ruang untuk protes, karena tak ada transparansi.
Pemerintah belum hadir secara nyata. Sementara dunia mulai menggagas standar kerja yang adil bagi pekerja platform—ILO misalnya, telah memasukkan isu ini dalam agenda Konferensi Perburuhan Internasional 2025 dan 2026—di Indonesia para driver ojol masih terombang-ambing. Regulasi masih kabur. Perlindungan hukum masih semu. Bahkan konsep kemitraan yang digunakan aplikator tidak memiliki pijakan kuat dalam hukum ketenagakerjaan kita.
Kini, ancaman tak hanya datang dari sistem yang tidak adil, tapi juga dari konsolidasi kekuatan korporasi digital. Rumor akuisisi GoTo oleh Grab, yang sudah diberitakan oleh Reuters, menunjukkan arah baru dari dominasi tunggal pasar. Jika benar terjadi, maka lebih dari 3 juta pekerja dan jutaan pelaku UMKM bisa terdampak secara langsung. Bukan hanya soal hilangnya diskon dan promo bagi konsumen, tapi juga potensi efisiensi besar-besaran yang bisa berujung pada pemangkasan tenaga kerja.
Lalu, di mana posisi negara? Apakah negara hanya akan menjadi penonton saat satu per satu ruang kerja dan ekonomi rakyat diambil alih korporasi transnasional? Apakah negara akan terus menganggap para pekerja platform sebagai “bukan buruh” hanya karena relasi kerja mereka dibungkus dengan istilah kemitraan?
Sudah saatnya negara hadir, bukan sekadar sebagai fasilitator bisnis, tetapi sebagai pelindung hak-hak rakyatnya. Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan mutlak dilakukan agar bisa menampung realitas baru dunia kerja digital. Negara juga harus mewajibkan transparansi sistem AI dalam industri digital seperti yang sudah dilakukan Uni Eropa. Tanpa transparansi, para pekerja akan terus jadi korban algoritma buta yang hanya berpihak pada profit.
Pekerja platform bukan sekadar pengguna aplikasi. Mereka adalah penggerak utama ekonomi digital. Jika mereka terus diperlakukan semena-mena, maka yang kita bangun bukanlah ekosistem digital yang inklusif, tetapi sistem eksploitatif yang merusak tatanan sosial dan ekonomi kita.
Para pekerja harus mulai menyadari bahwa kekuatan mereka tak akan lahir dari kerja sendiri-sendiri, tapi dari solidaritas. Sudah waktunya mereka berserikat, bersuara, dan bersama-sama menuntut keadilan. Sebab jika bukan sekarang, kapan lagi?