Dalam Dekapan Lautan Pasir Bromo

“Sungguh durhaka seorang anak yang hanya mendoakan orang tuanya hanya 5 kali dalam sehari” begitulah kira kira bunyi tulisan dalam salah satu bab di buku yang membahas tebtang adab kepada orangtua yang pernah kubaca beberapa waktu lalu.

Awalnya terasa agak janggal di otakku, bagaiman bisa kita yang sudah mendoakan orang tua kita saja masih dikatakan durhaka…apalagi jika benar benar berbuat kurang ajar kepada orang tua kita —naudzubillah.

Bacaan Lainnya

Namun kejadian didepanku siang itu kembali meyeret ingatanku pada baris tulisan itu.

Mungkin terlihat biasa bagi beberapa kawan lelaki di sebelahku yang siang itu bersamaku menikmati secangkir kopi gurun—begitu kami menyebutnya, kerena memang mereka sudah menjadi seorang bapak.

Akan tetapi beda halnya denganku, mungkin terlihat sederhana, tapi bagiku hal itu begitu tulus dan murni.
Seorang laki laki—suami penjual kopi di warung yang kami singgahi, sedang mendekap sayang anak lelaki mereka yang kutaksir umurnya berusia sekitar 3 tahunan. Sambil sesekali bergumam “mripate ditutup.”

Memang cuaca di lautan pasir Bromo siang itu cukup kuat anginnya, bahkan beberapa kali terlihat ada pusaran angin yang membawa serta pasir pasir itu.
Mungkin seperti inilah badai pasir di gurun pasir itu, bahkan sangat mungkin lebih parah, batinku.

Mataku tidak bisa jauh dari kejadian itu, sambil sesekali kuarahkan kamera tuaku pada mereka.

Dan kembali, ketika angin berhembus dengan kencang, lelaki itu membenarkan letak terpal yang menyrlimuti mereka sambil mendekap lebih erat bocah kecil itu.

Yaa, mereka —sepasang suami istri, yang berjualan di warung di tengah lautan pasir Bromo itu memang mengajak serta anak mereka untuk berjualan.

Mungkin mereka ingin memastikan bahwa anaknya teta mendapat curahan kasih sayang, walaupun orang tuanya sibuk bekerja.

Dan kembali, angin gurun itu berhembus. Kali ini terasa lebih kuat dari sebelum sebelumnya. Aku cepat cepat menutup rapat secangki kopi hitam di depanku meskipun tinggal seteguk, sambil memicingkan mata dan membenarkan letak surban yang kugunakan untuk menutup mulut dan hidungku.

Duh Gusti, betapa berdosanya aku. Rupanya ini maksud baris tulisan itu, sungguh seandainya aku mendoakan mereka 50 kali sehari pun tak akan membuatku kelelahan dibanding apa yang telah mereka lakukan untukku.

Gusti, Sungguh aku kangen Bapakku. Seandainya mungkin, ingin kudekap beliau saat itu juga.

Hari Yunita Sari

(ditulis karena dipaksa, dalam pelatihan Jurnalistik MP Jatim, 13-14 Juli 2018)

Pos terkait