Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang menimpa ketua dan sekretaris serikat pekerja di PT Yamaha Music Manufacturing Asia bukan sekadar pelanggaran hukum perburuhan. Ini tak biasa, ini adalah adalah tamparan keras bagi harga diri kaum buruh, bagi eksistensi serikat pekerja sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.
Karena sudah tak masuk logika sehat dan kewarasan. Mereka pun tidak lagi sekadar bercerita tentang ketidakadilan, tidak lagi hanya berbincang soal mimpi kesejahteraan yang tertunda. Namun kini mereka memilih berdiri, membentuk barisan, dan bersuara lantang di jalanan melakukan aksi unjuk rasa. Dan Itulah yang sedang dilakukan oleh buruh-buruh FSPMI Bekasi, ketika satu persatu hak dan martabat mereka dicabut secara sepihak oleh kekuatan modal yang serakah.
Bekasi, kemarin, hari ini atau esok hari bukan hanya untuk menyaksikan aksi unjuk rasa. Bekasi sedang melihat bagaimana kehormatan buruh sedang dipertaruhkan. Mereka tidak sekadar menuntut pemulihan hak-hak yang dilanggar, tetapi juga menegakkan martabat organisasi yang selama ini menjaga mereka dari perlakuan semena-mena.
Itulah sebabnya unjuk rasa bukan sekadar ritual atau agenda, namun menjadi salah satu instrumen penting dalam perjuangan kolektif yang konsisten.
FSPMI bukan organisasi yang lahir dari kenyamanan. Ia lahir dari keringat, air mata, dan darah perjuangan kelas pekerja. Oleh karena itu, mereka memahami betul bahwa unjuk rasa satu-satunya bahasa yang mungkin dapat dipahami oleh kekuasaan yang tuli dan tak memiliki hati nurani.
Kita sering mendengar kritik bahwa buruh hanya tahu demo, bahwa jalanan bukan tempat menyelesaikan masalah industrial. Mereka yang berkata demikian lupa, bahwa jalanan adalah hasil akhir dari kebuntuan dialog. Ketika ruang-ruang perundingan dikunci dari dalam, ketika keputusan hanya ditentukan oleh satu pihak yang berkuasa, maka aksi massa menjadi satu-satunya jalan untuk membuka kembali pintu-pintu keadilan yang terkunci.
Kasus hubungan industrial di PT. Yamaha Music Manufacturing Asia di Kabupaten Bekasi menjadi bukti nyata bahwa kesewenang-wenangan itu nyata, dan bukan cerita lama yang usang. Ketika ketua dan sekretaris serikat pun diberangus suaranya.
Oleh sebab itu, jangan minta buruh untuk diam dan menunggu. Jangan pinta mereka hanya menulis keluhan di atas kertas yang berdebu di meja birokrasi. Buruh bergerak karena diam berarti mati perlahan. Mereka berteriak di jalanan bukan karena senang membuat gaduh, tetapi karena itulah satu-satunya cara agar suara mereka terdengar oleh yang pura-pura tuli.
Buruh tidak butuh kasihan, mereka butuh keadilan. Tidak butuh janji, tetapi kepastian hukum. Tidak butuh pengakuan semu, tetapi penghormatan atas martabat manusia pekerja.
Dan ketika pengusaha merampas hak-hak pekerja, kaum buruh tidak tinggal diam. Mereka bangkit, bergerak, dan melawan. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling banyak bercerita. Sejarah hanya mencatat siapa yang berani berdiri di saat ketidakadilan berkuasa.