Buruh Perempuan, Ibu Rumah Tangga, dan Menulis

Cimahi, KPonline – Tak pernah terbayangkan sebelumnya menjadi begitu sibuk dengan dunia perburuhan. Karena dahulu dalam pikiranku dan dalam bayanganku menjadi seorang ibu rumah tangga biasa saja sudah begitu melelahkan.

Tapi pada kenyataannya kesibukanku sebagai buruh pabrik dapat aku lalui dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Terlebih-lebih sekaligus sebagai ibu rumah tangga mengurus anak-anak dan kebutuhan rumah tangga.

Lelah? Jangan ditanyakan kembali hal itu. Satu hal yang pasti aku tidak ingin menjadi seorang perempuan yang biasa-biasa saja.

Seperti sebuah ungkapan yang mengatakan, “Aku ingin menjadi tanah untuk berpijak menjadi udara untuk dihirup sekaligus air untuk di teguk”.

Minggu 11 November 2018, seharusnya hari itu aku menemani suamiku mengunjungi anak-anakku yang ada dipondok melepas rasa rindu dengan menyuapi mereka makan dan melihat senyum mereka atau menemani ibuku yang sudah sepuh dan mulai sakit-sakitan.

Tapi untuk kesekian kalinya aku harus meminta maaf kepada diri sendiri dan kepada keluargaku.

Meninggalkan mereka disaat hari libur rasanya seperti membuat kesalahan besar dalam hidupku. Akan tetapi aku harus berdamai dengan diriku sendiri memaafkan atas kesalahanku sendiri.

“Sebagai perempuan aku harus maju,” kucoba kuatkan diriku meskipun aku sadar aku tidak sekuat yang orang-orang bayangkan.

Sambil memasak makanan kesukaan anak anak dan menyiapkan sarapan buat pasangan hidupku yang tercinta, mencuci dan membersihkan rumah adalah rutinitas yang sudah menjadi hal biasa.

Menyiapkan segalanya dengan segenap penuh cinta dan kasih sayang, sebagai bukti bakti kepada keluargaku dengan harapan mereka juga memahami apa yang aku mau.

Dalam hati, ” Berikan aku waktu sebagai perempuan aku juga ingin maju”.

Maka kuatkan hati melangkahkan kaki-kaki lelahku ini menuju kantor Konsulat Cabang FSPMI Bandung Raya untuk mengikuti pendidikan Menulis.

“Sebuah kegiatan monoton dan pasti membosankan,” gumamku dalam hati sambil mempersiapkan apa yang semestinya aku bawa seperti satu sachet kopi hitam, smartphone berikut charger dan kebutuhan perempuan pada umumnya.

Jujur saja Ini adalah kali pertama aku mengikuti pendidikan tulis menulis dan rasanya seperti mengulang masa-masa sekolah dulu.

Merasa ragu dan tidak percaya diri di awal pertemuan, akan tetapi seiring berjalannya pendidikan tulis menulis hari itu,aku mulai memahami betapa pentingnya menulis bagi sebuah pergerakan buruh.

Apa yang diucapkan oleh pria yang berperawakan kurus dan berkaca mata itu mulai menuntunku untuk memulai menulis.

“Tuliskan apa yang kamu pikirkan dan jangan memikirkan apa yang hendak kamu tuliskan.” Sebaris kalimat itu masih terngiang dan terbayang hingga kini.

Sebagai kaum buruh perempuan aku tidak ingin hanya terkurung oleh 8 jam kerja yang menyiksa atau berputar didalam rumah antara dapur, sumur dan kasur lalu berulang kembali setiap harinya.

Aku ingin menjadi perempuan yang maju atau setidaknya aku mampu menulis apa yang ada dalam hati sebagai perempuan, sebagai buruh dan juga sebagai seorang ibu.

Penulis: Lilis Susilawati