Buruh Migran: “Jangan Perlakukan Kami Sebagai Barang Dagangan”

Jakarta, KPonline – Pada peringatan hari bersejarah, Hak Asasi Manusia (10 Desember) dan Hari Migran Internasional (18 Desember) tahun ini, Buruh Migran Indonesia menyerukan tuntutan “Jamin perlindungan, keselamatan dan keamanan kerja kami dari segala bentuk perampasan dan ancaman.”

Kami menegaskan, “Jangan perlakukan kami sebagai barang dagangan, sapi perahan dan sengaja memanfaatkan ketidakberdayaan kami untuk meraup devisa.” Setiap hari, buruh migran dihadapkan pada kenyataan pahit. Krisis di tanah air terus memburuk dan penindasan diluar negeri semakin berlipat ganda. Harapan besar kondisi rakyat akan berubah lebih baik dibawah pemerintah Presiden Joko Widodo-JK belum kita rasakan.

Bacaan Lainnya

Sebaliknya, rakyat semakin menderita dan tertindas dari berbagai program negara seperti perampasan tanah untuk investasi asing atas nama pembangunan infrastuktur dan perkebunan, upah buruh terus ditekan murah, harga pendidikan dan pelayanan kian tak terjangkau, lapangan kerja layak sulit didapatkan bahkan bagi generasi muda berpendidikan tinggi. Rakyat yang melawan harus berhadap-hadapan dengan kekerasan dan pembunuhan.

Realitas ini mematahkan harapan terbesar BMI untuk bisa segera pulang ke tanah air dan berkumpul kembali dengan keluarga. Di tengah keputusasaan, BMI terpaksa harus bertahan diluar negeri dengan cara apapun demi bisa menghidupi keluarganya di tanah air.

Sementara BMI terus menghadapi pemerasan, penipuan, pelanggaran hak, penahanan dokumen, perampasan upah, kekerasan, perdagangan manusia, sindikat narkoba, hukuman mati hingga pembunuhan. Mulai dari Erwiana, Yufrinda Soik, Sumartiningsih, Siti Zaenab dan deretan nama yang tak terhitung jumlahnya adalah korban kongkret ketidakberdayaan dan kegagalan perlindungan pemerintah.
Disisi lain, negara-negara penerima dimana kita bekerja terus berusaha mengikis hak-hak buruh migran. Upah dipatok rendah, visa diperpendek, tinggal diluar rumah majikan dilarang dan dikriminalkan, kondisi kerja terus memburuk, agen-agen giat mengeksploitasi, diskriminasi meningkat, penangkapan dan deportasi dibiarkan terjadi.

Sementara revisi UUPPTKILN No. 39/2004 tetap melanggengkan pengiriman dan eksploitasi PJTKI dan pemerintah itu sendiri.
Secara hukum, revisi ini tetap tidak mengakui jutaan BMI sebagai pekerja dan manusia, serta sengaja menghilangkan keberadaan jutaan BMI dengan status tidak resmi. Lebih dari itu, proses ini bahkan tidak melibatkan secara langsung suara BMI diluar negeri. Semua BMI adalah pahlawan keluarga dan penghasil devisa yang menguntungkan negara.

BMI terpaksa menjadi tidak berdokumen/overstay atau mengajukan diri sebagai pengungsi karena kemiskinan, konflik, bencana dan terpenting kegagalan negara melindungi BMI dari eksploitasi.Pemerintah Indonesia wajib mengakui secara hukum keberadaan seluruh warga negaranya diluar negeri apapun jenis kerja dan status visanya. Ini berarti perlindungan dan pelayanan harus diberikan kepada semua secara komprehensif dan inklusif tanpa diskriminasi. Pekerja Rumah Tangga ( PRT ) sebagai tenaga kerja yang murah dan mudah di eksploitasi

Sampai saat ini, berbagai macam bentuk penindasan dan bentuk penghisapan yang dialami oleh BMI di Taiwan, hal ini terjadi karena berbagai kebijakan atau undang-undang yang diberikan untuk mengatur pengiriman dan penempatan terhadap buruh migran tidak pernah berorientasi kepada kesejahteraan dan keadilan yang dibutuhkan oleh buruh migran Indonesia itu sendiri.
Harga-harga kebutuhan pokok baik di Taiwan maupun di Indonesia semakin melambung tinggi sementara upah BMI tidak mengalami kenaikan yang memadai.

Melalui berbagai cara Pemerintah Taiwan terus mempertahankan agar upah BMI tetap murah dan mengeluarkan pekerja informal (PRT) dari upah minimum pada tahun 2007, sampai saat ini masih di luar UUTKP.

Layaknya sapi perahan yang diperas tenaganya, kami adalah buruh migran dari Indonesia yang tersingkir dari tanah air sendiri, karena dengan terbatasnya pekerjaan dan meningkatnya pengangguran dan maraknya kemiskinan, di jual melalui devisa dan diperas melalui macam-macam peraturan yang merampas upah dan merendahkan buruh migran di sektor informal, layaknya barang dagangan dan sapi perahan. Lebih dari itu kami juga di perlakukan layaknya budak kasar dengan kerja tiada batas waktu dengan gaji yang rendah.

Menjadi buruh migrant bukan sebuah keinginan tapi keterpaksaan.

Akan tetapi pemerintah justru memanfaatkan keterpaksaan kami untuk menindas berlipat ganda dan menciptakan sebagai buruh migrant yang menerima apa adanya, dan di butakan dengan hak- haknya.

Jika kami miskin, pengangguran, dan berpendidikan rendah, bukankah itu kegagalan dari pemerintah sendiri, untuk melindungi rakyatnya? (*)

Sumber: JBMI-Taiwan

Foto: Atin Safitri

Pos terkait