Buruh Indonesia Dalam Krisis Baru

Purwakarta, KPonline – Gerakan Buruh di Indonesia kini berhadapan dengan krisis baru, yaitu dimana tak sedikit kaum buruh atau kelas pekerja lebih memilih menjadi “kaum selonjoran,” atau saat ini lebih memilih melemah untuk menyerah ketika berhadapan dengan situasi buruk, khususnya, ekonomi.

Bersyukur dan bersyukur, begitulah esepsinya dan gerakan ini muncul dikala kekuatan regulasi atau kebijakan yang tidak berpihak, menekan mereka tanpa kenal lelah, datang dengan begitu hebat, menyandera logika akal sehat yang mereka miliki sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Ketimbang berupaya berusaha mencapai tuntutan untuk hidup layak dan sejahtera, kini banyak pekerja atau buruh membiarkan diri mereka’mengalah, menyerah’ mencapai ekspektasi ekonomi yang suram di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemudian, dapat dikatakan ‘mengalah dan menyerah,’ adalah menunjukkan sikap bagaimana seorang buruh atau seorang pekerja benar-benar bersedia menerima situasi yang jauh lebih buruk, daripada yang tidak seharusnya.

Tapi begitulah hidup. Realitanya, pemikiran atau pandangan setiap individu cenderung berbeda. Dan hidup itu adalah pilihan.

Dan biasanya, dua pilihan yang dianutnya;

Pertama, memilih menyerah dengan keadaan yang tidak menguntungkan, dimana otomatis masa depan anda bersama keluarga tidak akan sesuai ekspektasi yang anda bayangkan sebelumnya.

Kedua, memilih tetap terus berusaha, berjuang apa pun risikonya untuk meraih kesuksesan dalam hidup sesuai cita-cita, itulah sebenar-benarnya manusia.

Perlu diketahui, kenaikan upah, delapan jam kerja, THR, jaminan sosial, cuti melahirkan dan lain-lain itu bisa dinikmati bukan karena hadir dengan sendirinya atau hanya sekedar ‘selonjoran’ semata, apalagi kebaikan korporasi, tapi melainkan melalui perjuangan yang cukup berat, perjuangan yang nyata, yang bahkan harus turun kejalan.

Dimana, Kawan buruh harus tau bahwa salah satu peristiwa terkenal yang kemudian dijadikan momentum peringatan hari huruh adalah tragedi Haymarket di Chicago Amerika Serikat. Aksi ini terjadi empat hari dan menjalar ke berbagai negara bagian.

Demonstrasi dan pemogokan itu melibatkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu buruh. Mereka menuntut pemberlakuan jam kerja 8 jam.

Yah, bisa dibayangkan untuk delapan jam kerja saja, harus berdarah darah, dan delapan jam kerja itu hadir bukan hasil dari duduk manis sambil selonjoran semata.

Pos terkait