Pelalawan, KPonline- Ratusan bahkan ribuan buruh diberbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau masih bertahan dalam status sebagai Buruh Harian Lepas (BHL), meskipun sebagian dari mereka telah mengabdi selama lebih dari sepuluh tahun. Mereka terus bekerja dari hari ke hari tanpa kejelasan nasib, tanpa jaminan masa depan yang layak, dan tanpa kepastian kapan akan diangkat menjadi karyawan tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Para buruh ini bekerja di bawah manajemen perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di Riau. Sebagian besar dari mereka telah menjadi tulang punggung produksi sejak lama. Serikat pekerja seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) juga terlibat aktif dalam memperjuangkan hak mereka melalui jalur mediasi dan dialog dengan pihak perusahaan.
Fenomena ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan masih terus terjadi hingga pertengahan tahun 2025. Buruh yang telah mengabdi lebih dari satu dekade masih belum mendapatkan kejelasan hukum dan status kerja yang seharusnya menjadi hak mereka sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan.
Kondisi ini terjadi di berbagai wilayah sentra perkebunan di Riau, seperti Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, hingga Rokan Hulu. Hampir semua perusahaan perkebunan skala besar di wilayah ini menerapkan pola kerja BHL untuk mempertahankan efisiensi biaya, namun mengabaikan aspek keadilan dan kesejahteraan buruh.
Status BHL membuat para pekerja tidak mendapatkan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan secara penuh, tidak mendapatkan THR, tunjangan tetap, atau kepastian penghasilan. Hal ini jelas melanggar asas kepastian hukum dan keadilan sosial. Upaya serikat pekerja untuk mendesak pengangkatan BHL menjadi PKWTT hanya dibalas dengan janji-janji manajemen perusahaan yang tidak kunjung terealisasi.
Perusahaan berdalih bahwa mereka memiliki prosedur dan waktu tertentu untuk melakukan pengangkatan menjadi karyawan tetap. Namun kenyataannya, proses tersebut lebih banyak menjadi alasan untuk menunda-nunda dan menghindari kewajiban perusahaan terhadap pekerja. Dalam praktiknya, banyak buruh yang sudah bekerja lebih dari lima tahun pun tidak kunjung diangkat, menciptakan kesan bahwa janji pengangkatan hanya isapan jempol belaka.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat. Dinas Tenaga Kerja harus turun tangan melakukan audit ketenagakerjaan dan menindak perusahaan yang mengaburkan status kerja demi kepentingan efisiensi. Selain itu, penguatan peran serikat pekerja dan perlindungan hukum bagi buruh menjadi kunci agar keadilan sosial benar-benar terwujud di sektor perkebunan. Pekerja bukan hanya alat produksi, mereka juga manusia yang berhak atas kepastian, penghargaan, dan perlindungan.