Buruh Digital: Tak Terikat, Tapi Tercekik

Buruh Digital: Tak Terikat, Tapi Tercekik

Kita hidup di zaman yang sering dielu-elukan sebagai era kebebasan. Di mana pun kita berada, kita disuguhi narasi bahwa teknologi telah membebaskan manusia dari keterbatasan masa lalu. Kita dikatakan bebas bekerja dari rumah, bebas menjadi kreator, bebas memilih aplikasi, bebas menjual jasa atau karya tanpa harus bergantung pada perusahaan besar. Tapi jika kita berhenti sejenak, menarik napas, dan melihat kenyataan dari dekat, kita akan menemukan bahwa kebebasan itu tak lebih dari ilusi. Dan di balik kemasan modern yang rapi dan canggih, kita sedang berada dalam sistem penindasan gaya baru yang tak kalah brutal dari masa lalu.

Lihatlah para pengemudi ojek online yang lalu-lalang di jalanan kota. Mereka disebut sebagai mitra, bukan pekerja. Mereka tidak terikat kontrak kerja, tidak punya jam kerja tetap, tidak memiliki gaji pokok, dan tidak berhak atas jaminan sosial seperti pekerja formal. Mereka “bebas” memilih kapan bekerja, tapi sejatinya hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh sistem algoritmik yang tidak pernah bisa mereka akses atau pertanyakan. Setiap pagi mereka bangun, bukan untuk menentukan arah hidup sendiri, melainkan untuk menunggu instruksi dari server perusahaan raksasa yang menentukan apakah mereka akan mendapatkan penghasilan hari itu atau tidak. Arah kerja mereka, waktu tunggu mereka, bahkan kecepatan mereka dalam mengantar penumpang dinilai oleh sistem yang dingin dan tak manusiawi. Mereka tidak terpaksa secara hukum, tapi mereka terpaksa secara ekonomi. Mereka tidak diborgol oleh perintah langsung, tetapi dikendalikan oleh ketergantungan struktural yang jauh lebih licin dan mematikan.

Begitu juga dengan para pekerja lepas, kreator konten, penjual daring, dan siapa pun yang menggantungkan penghasilan dari platform digital. Mereka semua dihadapkan pada pilihan palsu. Katanya, mereka tidak dipaksa untuk menggunakan satu platform tertentu. Tapi kenyataannya, siapa yang bisa bersaing di era ini tanpa mengikuti algoritma Instagram, tanpa membuat konten yang cocok untuk YouTube, tanpa menjual di marketplace raksasa seperti Tokopedia atau Shopee? Pilihan kita bukanlah antara menggunakan atau tidak, melainkan antara bertahan hidup atau tenggelam. Maka semua orang pun tunduk. Mereka mengejar likes, views, engagement rate, ulasan bintang lima, dan rating pelanggan yang ditentukan oleh sistem yang tidak demokratis, tidak transparan, dan tidak memberi ruang negosiasi.

Kapitalisme digital tidak hadir dengan cambuk dan rantai. Ia tidak lagi memerlukan tuan tanah bersenjata atau penjaga berseragam. Ia hanya perlu aplikasi yang dirancang untuk membentuk perilaku, sistem kecerdasan buatan yang mengatur prioritas, dan logika ekonomi yang membuat kita percaya bahwa kita sedang mengejar kebebasan, padahal kita sedang diperbudak oleh sistem yang tidak terlihat. Kekuasaannya tersembunyi, tetapi efeknya nyata. Kita merasa memilih, tapi pilihan kita sudah disetir sejak awal. Kita merasa merdeka, padahal kita dikurung dalam ekosistem yang tidak bisa kita tinggalkan tanpa kehilangan penghidupan.

Bahkan media sosial yang tampak begitu demokratis pun adalah ladang eksploitasi besar-besaran. Kita berbagi pemikiran, foto, video, dan cerita hidup. Kita berinteraksi, berdebat, menciptakan tren, membangun komunitas. Tapi siapa yang paling diuntungkan? Bukan kita. Setiap klik, setiap komentar, setiap detik yang kita habiskan di layar adalah data. Dan data itu adalah emas bagi perusahaan-perusahaan digital. Mereka menjualnya ke pengiklan, membangun profil psikologis kita, memetakan pola konsumsi kita, dan menjadikannya sumber keuntungan yang luar biasa. Kita adalah pekerja tanpa upah, kreator tanpa perlindungan, pengguna yang sesungguhnya adalah produk. Kita tidak pernah menandatangani kontrak kerja, tapi kerja kita dieksploitasi habis-habisan setiap hari, setiap jam, setiap menit.

Inilah wajah kapitalisme digital. Bukan seperti feodalisme kuno yang mengandalkan status turun-temurun dan kepemilikan tanah, tetapi sistem kapitalisme canggih yang mengandalkan kepemilikan infrastruktur digital, dominasi data, dan kekuasaan algoritmik. Perusahaan-perusahaan seperti Google, Meta, Amazon, dan Uber tidak mempekerjakan semua orang secara langsung, tetapi mereka mengendalikan sistem di mana hampir semua aktivitas ekonomi terjadi. Mereka tidak perlu memiliki tanah, karena mereka memiliki awan digital. Mereka tidak perlu memaksa dengan tentara, karena kita dengan sukarela bergantung pada aplikasi mereka. Mereka tidak perlu membatasi pergerakan fisik kita, karena gerak digital kita telah sepenuhnya dalam pengawasan dan kontrol mereka.

Dan yang paling berbahaya dari semua ini adalah bagaimana narasi “kemitraan”, “fleksibilitas”, dan “kreativitas” digunakan untuk menutupi kenyataan eksploitasi. Kata-kata manis itu bukan sekadar kebohongan, tetapi alat hegemoni yang membuat kita enggan mempertanyakan sistem ini. Kita merasa bangga jadi pekerja mandiri, padahal kita tidak punya daya tawar. Kita merasa jadi kreator yang berdaya, padahal kita tidak punya kendali atas pendistribusian karya kita. Kita merasa jadi wirausaha modern, padahal kita hanya operator lepas dalam ekosistem yang seluruh aturannya dibuat oleh raksasa yang tak terlihat.

Kapitalisme digital telah membentuk kelas pekerja baru. Pekerja yang tidak diakui sebagai pekerja. Pekerja yang tidak digaji tapi terus menghasilkan nilai. Pekerja yang tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan, karena hubungan kerjanya disamarkan sebagai “kemitraan”. Ini adalah bentuk pemiskinan struktural yang diselimuti kemasan teknologi tinggi. Ini adalah penghisapan nilai tambah dari manusia oleh mesin-mesin abstrak yang dikelola oleh segelintir elite global. Dan kita semua sedang menjadi bagiannya.

Kita akan menjadi budak dalam dunia yang tidak lagi memakai rantai, tapi memakai kode. Dan budak yang tidak sadar bahwa dirinya terjajah adalah budak yang paling sulit dibebaskan