Beredar Petisi Save Zaadit, Rektor UI Layak Diberi Kartu Merah Jika Keluarkan Sanksi

Jakarta, KPonline – Pasca aksi pemberian kartu kuning kepada Jokowi yang dilakukan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa, beredar petisi online bertajuk dukungan ribuan alumni Perguruan Tinggi se-Indonesia untuk Zaadit Taqwa.

Melalui petisi ini, para alumni Perguruan Tinggi di Indonesia menyatakan berdiri di belakang Zaadit Taqwa, yang telah menyuarakan amanat akal sehat rakyat melalui sebuah kartu kuning yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo.

Petisi ini ditujukan kepada Rektor UI dan Presiden RI Joko Widodo.

Saya mendukung langkah Zaadit yang memberikan peringatan kepada Presiden. Oleh karena itu, sebagai bagian dari alumni perguruan tinggi, tentu saja saya ikut menandatangani petisi ini.

Saya rasa, terlalu berlebihan jika Rektor Universitas Indonesia memberikan sanksi. Jika ini dilakukan, kepada Rektor UI bukan saja layak diberikan kartu kuning, tetapi kartu merah.

Mengapa demikian? Ini adalah bentuk ekspresi untuk menyampaikan aspirasi. Terpenting, dilakukan tanpa menimbulkan kegaduhan apapun. Dari video yang beredar, terlihat Zaadit berdiri kemudian mengangkat kartu kuning.

Perhatian terhadap aksi pemberian kartu kuning itu justru makin membesar setelah Zaadit “dipaksa” keluar ruangan. Kalaupun aksi itu dibiarkan, saya rasa dampaknya tidak tak akan seheboh ini.

Bahwa pemerintah bukanlah institusi yang tidak boleh dikritik. Karena ia dijalankan dengan pajak rakyat, maka hal yang wajar jika ia dikritik. Tentu saja, agar ada perbaikan.

Sebuah rezim yang anti kritik hanya akan menghasilkan tirani. Ini terjadi dimana-mana.

Dalam hal ini, Zaadit tidak sendiri. Gerakan serikat buruh, dalam aksinya (6/2/2018) pun menyampaikan hal serupa. Bahwa Pemeritahan Joko Widodo – Jusuf Kalla layak diberi kartu merah.

Terlebih lagi dengan adanya MOU antara Panglima TNI dengan Kapolri tentang pelibatan tentara dalam menghadapi unjuk rasa dan mogok kerja. Ada kekhawatiran, MOU akan menjadikan pemerintah yang anti kritik dan anti demokrasi. Hal ini justru menyulitkan posisi Presiden Joko Widodo di mata internasional, karena hal ini bertentangan dengan hukum internasional.