Belajar Hubungan Industrial dari Jepang

Bekasi, KPonline –  Tanggal 1 hingga 2 November 2016, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bekerjasama dengan Yayasan Serikat Pekerja Jepang (JILAF) mengadakan seminar dan workshop tentang hubungan industrial. Kegiatan ini bertema, “Implementation of National Security Health and Pension and Experience in Japan.

Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel Grand Zuri Jababeka, Bekasi. Dihadiri oleh 115 peserta dari berbagai Federasi Serikat Pekerja dibawah naungan KSPI, diantaranya ada FSPMI, FARKES, SPN, SPPMI, ISI, PAR dan PGRI.

Hadir dalam kegiatan ini Dewan Penasehat KSPI Agus Toniman, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Shinichiro Honda, pembicara dari Japan International Labour Foundation (JILAF) Mr. Masayuki Shiota, Pembicara dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Agus Guntur dan Pembicara dari Confederation of Indonesia Trade Union (CITU) Sofyan.

Banyak manfaat dan wawasan yang didapat oleh peserta seminar. Terlebih lagi, ketika Masayuki Shiota San memaparkan dengan detail tentang permasalahan dan peranan gerakan serikat pekerja Jepang dan sistem jaminan sosial di negara Sakura itu.

Gerakan Serikat Pekerja Jepang dimulai dari zaman restorasi Meiji ( 1868-1945) dengan dibentuknya Roudoukumiai Kiseikai (1897), yaitu organisasi yang bertujuan untuk pembentukkan serikat tenaga kerja. Masa-masa ini gerakan serikat pekerja banyak mengalami tekanan, tapi hal itu tidak menyurutkan gerakan serikat pekerja sampai pada akhirnya keluar Undang-Undang Serikat Pekerja pada tahun 1945 dan terbentuknya Konfederasi Serikat Tenaga Kerja Jepang (RENGO) pada tahun 1989 dengan jumlah anggota 7,6 Juta Orang.

Pergerakan Rengo mengalai peningkatan yang signifikan karena dikelola secara profesional di mulai dari struktur organisasi, standar iuran serikat pekerja, prinsip dasar organisasi, Shunto (serangan upah musim semi ), hubungan  dan sistem konsultasi industrial, gerakan produktivitas pekerja dan memperbaiki sistem dan 17 kebijakan yang meliputi ekonomi, pajak, lapangan kerja industri, pekerja, kesejahteraan dan jaminan sosial, rumah dan tanah, tanah nasional, transportasi, sumber daya alam dan energi, informasi teknologi, hak azasi dan persamaan hak, pendidikan, lingkungan, bahan pangan pertanian hutan dan laut, reformasi politik, reformasi hukum dan administratif pemerintah, serta internasional.

Peserta foto bersama usai acara.
Peserta foto bersama usai acara.

Peserta seminar yang hadir bisa melakukan komparasi tentang organisasi dan jaminan sosial, misalnya: Standar iuran anggota RENGO sebesar 1,62% dari upah bulanan, dimana rata-rata upah bulanannya sebesar ¥ 304.104 (Tigaratus Empat Ribu seratus empat Yen). Jika satu yen katakanlah 126 rupiah, maka upah rata-rata di Jepang adalah 38,3 juta. Jadi, iuran mereka sekitar Rp 383.000. Dari iuran yang masuk ke RENGGO, diperuntukkan untuk: 35,7% untuk biaya personalia, 12,7% iuran ke organisasi di atasnya ,dan 51,6% biaya kegiatan.

Untuk jaminan sosial, kita masih tertinggal jauh dengan Jepang meskipun produk jaminan sosialnya hampir sama, meliputi Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, Kecelakaan Kerja, Asuransi Perawatan Lanjut Usia, Jaringan Keamanan Kedua. Melalui program Jaminan Keamanan kedua ini pengangguran dapat bantuan sebesar ¥ 100.000 (seratus ribu Yen) dengan syarat mengikuti kursus pelatihan keterampilan. Tunjangan transportasi juga diberikan kepada mereka.

Pembicara dari APINDO, Agus Guntur memaparkan tentang hubungan industrial dimana pelakunya adalah pengusaha, pekerja dan pemerintah. Pengusaha membutuhkan pekerja untuk mengolah produk sampai punya nilai jual dan pekerja pun membutuhkan pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Perusahaan semakin maju dan disaat yang bersamaan kesejahteraan pekerja pun meningkat. Kunci dari hubungan industrial ini adalah komunikasi dan musyawarah, serta menjalankan Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perundang-undangan.

Di kesempatan lain, pembicara Confederation of Indonesia Trade Union (CITU) Sofyan menjelaskan kenapa PP 78/2015 tentang Pengupahan harus dicabut. Selain Serikat Pekerja tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan ini, juga rekomendasi dari DPR RI untuk mencabut PP78/2015 ini. Saat ini PP 78/2015 masih dalam tahap Judicial Review di Mahkamah Agung.

Menurut Sofyan, yang paling krusial dalam PP78/2015 ini adalah pasal 44 tentang formulasi penetapan Upah Minimum.Dan Upah Minimum ini meskipun diatur dalam Permenakertrans no.7/2013 tetap bertentangan dengan Pasal 1 poin 30 UU 13/2003 tentang definisi upah, yang mana Upah adalah “hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

“Upah itu untuk Pekerja dan Keluarganya sementara dalam Permenakertrans No.7/2013. Upah hanya untuk pekerja lajang. Jadi sampai upah minimum jauh dari upah layak..!” katanya.

Seminar dan Workshop Hubungan Industrial ini ditutup pada hari Rabu, 2 November 2016 dengan sesi diskusi tentang action plan dan rekomendasi masing-masing federasi, dilanjutkan dengan presentasi hasil diskusi tersebut.

Sebelum menutup acara seminar, Hitoshi Suzuki San (Director Field Projects Group), Naohiro Tsuji San (Director Field Projects Group) dan Masayuki Shiota San (General Secretary of Japan International Labour Foundation (JILAF) berpesan kepada peserta seminar untuk mengkaji lagi materi seminar kemudian di diskusikan dengan pelaku hubungan industrial di perusahaannya masing-masing, melakukan diskusi dengan induk organisasi serikat pekerjanya dan mengimplementasikan hasil seminar, meskipun itu sulit.”

“Tapi saya yakin, KSPI bisa mewujudkan itu. Hidup Buruh..!” Kata Masayuki Shiota San berapi-api.