BAPANAS Tetapkan Batas Atas Pembelian Gabah, Rugikan Petani, Untungkan Korporasi

Jakarta, KPonline – Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeluarkan surat edaran terkait harga batas atas pembelian gabah atau beras. Melalui surat edaran No.47/TS.03.03/K/02/2023, Bapanas menetapkan batas atas harga pembelian gabah dan beras untuk mengendalikan laju harga gabah/beras. Serikat Petani Indonesia (SPI) menyesalkan kebijakan yang dibuat oleh Bapanas tersebut.

 

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, Bapanas tidak melibatkan organisasi petani dalam perumusan kebijakan. Kesepakatan ini menjadi tidak representatif, karena tidak ada perwakilan dari petani bahkan dari kementerian pertanian pun tidak dilibatkan.

 

“Sebaliknya, Bapanas justru melibatkan korporasi pangan, seperti Wilmar Padi. Keterlibatan dalam menentukan batas atas harga menjadi ruang bagi korporasi pangan skala besar untuk dapat membeli gabah dari petani dengan harga murah, lalu memprosesnya (mengolah dan mendistribusikan nya) dengan standart premium dan harga yang premium atau harga tinggi,” tegasnya dari Medan, Sumatera Utara siang ini (21/02).

 

Ia melanjutkan, disepakatiya harga bawah Rp4.200 dan harga batas atas Rp4.550 ini akan merugikan petani, karena cenderung abai terhadap fakta-fakta bahwa terjadi peningkatan biaya produksi dan modal yang ditanggung petani. Contoh: kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, kenaikan biaya upah pekerja (bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri).

 

“SPI sendiri sebelumnya sudah mengusulkan revisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang terakhir direvisi pada tahun 2020, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Hal ini menjadi penting karena saat ini tengah memasuki masa panen raya, sehingga penetapan harga yang layak menjadi sangat krusial,” paparnya.

 

“Usulan HPP kita Rp5.600 per kg. Yang menjadi sorotan upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan. Upah tenaga kerja sekarang Rp120 rb – 150 rb per bari, terus sewa lahan apa ada lahan yg disewakan 3 – 4 juta per hektare, terus sewa peralatan apa mau Rp400 ribu /hektare, pada umumnya Rp1,5 juta. Terus biaya panen belum dihitung rata rata 3 juta/ha, bahkan di lain daerah masih ada biaya angkut,” katanya.

 

Henry melanjutkan, kebijakan ini akan memperburuk kesejahteraan petani dan juga merugikan konsumen di Indonesia. Berkaca dari gejolak harga beras yang terjadi di Indonesia selama 2022 lalu, persoalan penyerapan beras untuk cadangan pemerintah menjadi salah satu permasalahan mendasar. Oleh karenanya, kebijakan penyerapan beras haruslah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsumen.

 

“Dari sisi petani, harus ada jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Sementara itu untuk pendistribusian kepada konsumen, perlu ada kontrol mengenai didistribusi beras terhadap masyarakat,” tambahnya. (MP)