Purwakarta, KPonline — Deni Rahman (28), seorang buruh pabrik otomotif di kawasan industri Kota Bukit Indah – Purwakarta, tak pernah menyangka bahwa langkah kecilnya bergabung dengan serikat pekerja atau Serikat buruh (SP/SB) akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja dengan status kontrak, Deni akhirnya bisa mewujudkan impian yang lama tertunda, yaitu menikahi perempuan yang ia cintai.
“Saya pernah hampir menyerah,” kenang Deni. “Tunangan saya nunggu, tapi saya nggak punya kepastian. Status kepegawaian (kontrak), berarti sama saja kerja nggak jelas, kadang dirumahkan dahulu setelah masa kontrak berakhir. Masa saya bawa dia dengan hidup seperti itu?”
Deni adalah satu dari jutaan buruh muda di Indonesia yang terjebak dalam sistem kerja kontrak jangka pendek, tanpa jaminan karier, tanpa tunjangan, dan tanpa suara. Selama hampir lima tahun, ia menjalani rutinitas panjang. Berangkat pagi buta, pulang malam, bekerja keras namun tetap miskin harapan.
Namun semua berubah ketika ia mulai mendengar tentang aktivitas serikat pekerja di pabriknya. Awalnya, ia skeptis. “Saya pikir, ah, cuma bikin ribut aja,” katanya. Tapi setelah melihat beberapa rekan berhasil mendapatkan hak-hak mereka kembali, termasuk dibayar lembur dan diangkat sebagai karyawan tetap, Deni pun memberanikan diri ikut bergabung, menjadi bagian dari keanggotaan Serikat pekerja.
#Langkah itu menjadi titik balik hidupnya.
Melalui serikat pekerja, Deni mulai belajar tentang hak-haknya sebagai buruh. Tentang upah minimum, lembur, status kerja, dan pentingnya perundingan kolektif. Ia pun aktif mengikuti rapat, pelatihan, bahkan ikut dalam advokasi bersama pengurus serikat ke kantor manajemen.
“Bersama teman-teman serikat, kami punya suara,” kata Deni. “Kami bukan lagi buruh yang pasrah. Kami tahu apa yang harus kami perjuangkan”.
Dalam waktu satu tahun, perjuangan itu membuahkan hasil. Manajemen perusahaan akhirnya menyetujui pengangkatan sebagian besar buruh kontrak menjadi pekerja tetap. Deni termasuk diantaranya. Selain status kerja yang lebih aman, ia juga mulai menerima tunjangan tidak tetap maupun tidak tetap dan upah yang lebih layak.
Dengan pendapatan yang stabil, tabungan yang terjaga, dan rasa percaya diri yang tumbuh, Deni pun akhirnya memutuskan menikahi tunangannya, Ayu, yang telah menantinya selama tiga tahun. Pernikahan sederhana mereka berlangsung di Purwakarta, dihadiri keluarga dan beberapa rekan serikat yang selama ini berjuang bersamanya.
“Waktu ijab kabul itu, saya sampai nggak bisa nahan air mata,” ujarnya. “Karena saya tahu, tanpa perjuangan bersama, mungkin saya belum bisa berdiri seperti ini”.
Ketua Serikat Pekerja di pabrik tempat Deni bekerja, Maman ‘Bezod,’ menuturkan bahwa kisah seperti Deni sebenarnya bukan hal yang langka, namun jarang terekspos.
“Banyak orang berpikir serikat itu hanya soal demo dan konflik. Padahal, ini soal perubahan hidup. Serikat memberi harapan. Deni bisa menikah bukan karena mukjizat, tapi karena dia memperjuangkan haknya bersama-sama”.
Kini, kehidupan Deni perlahan membaik. Ia tak hanya menjadi buruh yang lebih sejahtera, tapi juga seorang suami yang penuh harapan. Ia bahkan mulai aktif merekrut pekerja baru untuk bergabung dengan serikat pekerja, agar lebih banyak buruh muda bisa merasakan perubahan yang sama.
“Saya ingin banyak orang tahu, bahwa jadi buruh bukan akhir dari segalanya,” kata Deni. “Kalau kita bersatu dan berjuang, hidup bisa berubah”. Intinya, menjadi anggota serikat pekerja bukan hanya soal kerja. Tetapi tentang harga diri, harapan, dan masa depan.