4 Alasan Mengapa Penurunan PTKP Wajib Ditolak

Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras rencana penurunan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Seperti diketahui, selama ini PTKP yang berlaku adalah 4,5 juta per bulan. Dengan kata lain, pekerja yang upahnya di bawah 4.5 juta tidak terkena pajak.

Ketika kemudian Menteri Keuangan menurunkan PTKP menjadi sesuai dengan Upah Minimum Provinsi, maka pekerja yang upahnya di bawah 4.5 juta akan terkena pajak. Kebijakan ini lebih parah dari sebelumnya. Sebab sebelum naik menjadi 4.5 juta, nilai PTKP adalah 3 juta.

Sebagai contoh, UMP Jawa Tengah tahun 2017 ini sebesar 1.3 juta. Dengan demikian, pekerja yang upahnya sebesar 1.35 juta sudah terkena pajak.

Kebijakan ini seperti rentenir. Dimana pemerintah memajaki rakyat kecil.

Oleh karena itu, KSPI tegas menolak kebijakan ini. Adapun alasan penolakannya adalah sebagai berikut:

Pertama, daya beli buruh masih rendah. Jika PTKP diturunkan, maka daya beli akan semakin memburuk.

Upah buruh yang masih rendah itu akan diperparah dengan akan adanya pengeluaran yang harus dibayar: pajak.

Hal itu akan membebani masyarakat.

Indikator menurunnya daya beli, salah satunya adalah penjualan motor turun 7 persen, dan penjualan mobil turun 5.7 persen. Rumah murah yang targetnya 1 juta rumah tidak tercapai. Ibu rumah tangga paling merasakan dampaknya, ketika hampir semua kebutuhan naik.

Saya rasa, apa yang dilakukan pemerintah ini mirip dengan VOC, yang menarik upeti dari rakyat.

Kedua, kebijakan ini terkesan akal-akalan. Dulu ketika membuat kebijakan UU Tax Amnesty, dalihnya adalah untuk menarik repatriasi dan deklarasi. Setelah tahun pertama dibebaskan, mustinya tahun kedua mereka sudah harus membayar pajaknya.

Kemana pajak hasil deklarasi dan repatriasi yang katanya 4000 T lebih itu? Ini yang kita tidak setuju. Rasa ketidakadilan kita tercederai. Ini orang kaya diampuni, orang miskin dikejar-kejar pajaknya.

Ketiga, ketika KSPI mengajukan judicial review terhadap UU Tax Amnesty, salah satu argumentasi buruh tidak bayar pajak. Caranya, pemerintah menaikkan PTKP dari 3 juta mebjadi 4.5 juta.

Saat itu KSPI keberatan. Mengapa penjahat pajak diampuni, sedangkan buruh yang taat tidak diampuni? Maka pemerintah menaikkan PTKP menjadi 4.5 juta. Tetapi sekarang setelah UU berjalan, tax amnesty akan diturunkan kembali.

Inilah akibatnya cara berfikir mental VOC.

Keempat, kita tidak bisa membandingkan antar negara tanpa melihat faktor-faktor ekonomi yang lain. Kalau membandingkan harusnya head to head. Malaysia dan Thailand itu income perkapitanya sudah bagus. Sementara Indonesia daya belinya rendah.

Saya ingin menegaskan kembali. Jika mau memandingkan harusnya yang sebanding.

Data ILO menunjukkan, upah rata-rata Indonesia masih rendah.

Upah rata-rata Thailand adalah 357 dollar, Malaysia 506 dollat, Filipina 206 dollar, dan Indonesia hanya 174 dollar.

Upahnya paling rendah di negara ASEAN, tetapi PTKP nya mau diturunkan sehingga buruh yang upahnya sudah rendah harus dipajaki pula. Cara berfikir seperti inilah yang akan kita lawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *