Eksploitasi Buruh Anak

Jakarta,KPonline – Seperti kita ketahui setiap tanggal 23 Juli di peringati sebagai hari anak nasional yang berawal dari gagasan mantan presiden RI ke-2 (Soeharto), yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa, sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN).

Anak-anak sudah selayaknya menikmati waktu mereka dengan belajar, bermain, dan bergembira dalam suasana damai. Agar perkembangan fisik, mental, sosial, dan intelektualnya terjamin. Selain itu juga memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk menggapai cita-citanya.

Anak-anakpun tak luput dari ekploitasi .Tahun 2016 sedikitnya telah ditarik 16.500 pekerja anak untuk dikembalikan ke dunia pendidikan melalui kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Sedangkan pada tahun 2017 pemerintah menargetkan penarikan 17.000 pekerja anak dari seluruh Indonesia

Jika diakumulasikan pada tahun 2008-2016 lalu, melalui aksi nasional tersebut Kemenaker bekerja sama dengan berbagai pihak sudah berhasil mengembalikan 80.555 pekerja anak ke bangku pendidikan. Tahun 2022 mendatang Indonesia diharapkan dapat memenuhi target bebas dari pekerja anak.

Ribuan anak di Indonesia, beberapa baru umur 8 tahun, masih bekerja dalam kondisi membahayakan kesehatan di berbagai lahan pertanian tembakau, menurut Human Rights Watch dalam laporan hari ini. Berbagai perusahaan rokok Indonesia dan multinasional membeli tembakau di Indonesia, namun tak cukup memastikan bahwa anak-anak tak terlibat pekerjaan berbahaya dari pemasok mereka.

Pemerintah seharusnya melarang pemasok yang memanfaatkan anak-anak untuk pekerjaan dengan kontak langsung dengan tembakau, dan pemerintah Indonesia harus mengatur industri ini untuk bertanggungjawab.

“Perusahaan tembakau menghasilkan uang dari pinggang dan kesehatan buruh anak,” ujar Margareth Wurth, peneliti hak-hak anak Human Rights Watch dan penulis laporannya. “Perusahaan rokok semestinya tak berkontribusi dalam penggunaan buruh anak pada pekerjaan berbahaya dalam pasokan mereka.”

Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar kelima di dunia, dengan lebih dari 500,000 pertanian tembakau. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan lebih dari 1,5 anak usia 10 hingga 17 tahun bekerja di pertanian di Indonesia. Human Rights Watch tak bisa menemukan perkiraan resmi jumlah anak yang bekerja di pertanian tembakau.

Human Rights Watch membuat penelitian lapangan di empat provinsi, termasuk tiga provinsi yang menghasilkan hampir 90 persen produksi tembakau Indonesia: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Laporan ini berdasarkan wawancara dengan 227 orang, termasuk 132 buruh anak usia 8 hingga 17 tahun. Sebagian besar mulai bekerja sejak usia 12 tahun, sepanjang musim tanam, di lahan-lahan kecil yang diolah oleh keluarga atau tetangga mereka.

Separuh anak-anak yang diwawancarai mengeluh mual, muntah, sakit kepala, atau pusing, semua gejala yang konsisten dengan keracunan nikotin kronis karena penyerapan nikotin melalui kulit mereka. Efek jangka panjang untuk hal ini belum diteliti, namun penelitian tentang merokok menunjukkan bahwa paparan nikotin selama masa kanak-kanak dan remaja dapat mempengaruhi perkembangan otak.

Banyak buruh anak mengatakan mereka ikut mencampur dan memakai pestisida dan bahan kimia lainnya. Paparan pestisida sudah lama diketahui punya efek kesehatan jangka panjang dan kronis termasuk masalah penafasan, kanker, depresi, defisit neurologi, dan masalah kesehatan reproduksi.

Sedikit sekali dari anak-anak yang diwawancarai, atau orangtua mereka, memahami risiko kesehatan. Mereka juga praktis sedikit dilatih tentang langkah-langkah melindungi keselamatan mereka dari bahaya pestisida. Pemerintah Indonesia harus melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko kesehatan anak-anak yang bekerja di pertanian tembakau, kata Human Rights Watch.

Indonesia punya beberapa industri besar tembakau termasuk tiga pabrik rokok nasional —PT Djarum, PT Gudang Garam Tbk, dan PT Nojorono Tembakau International— dan dua perusahaan multinasional—PT Bentoel International Investama, yang dimiliki British American Tobacco, dan PT Hanjaya Mandala Internasional Investama yang dimiliki Phillip Morris International. Kelima perusahaan ini membeli tembakau yang ditanam di Indonesia.

Human Rights Watch membagikan temuannya kepada 13 perusahaan, dan 10 perusahaan memberi tanggapan. Namun tak satupun dari perusahaan Indonesia memberikan tanggapan rinci atau komprehensif, dan dua perusahaan besar, Djarum dan Gudang Garam, tak menanggapi meski berulang kali dihubungi.

Sejak 2013, Human Rights Watch telah bertemu dan bersuratan dengan perwakilan beberapa perusahaan rokok multinasional mengenai kebijakan buruh anak dan praktiknya. Human Rights Watch sebelumnya mendokumentasikan buruh anak yang ada di pertanian tembakau di Amerika Serikat, dan mendesak perusahaan rokok di sana ambil langkah konkret untuk menghapus buruh anak dari rantai pemasok mereka. Beberapa telah mengadopsi perlindungan baru untuk buruh anak, namun tak satupun punya kebijakan yang cukup untuk memastikan semua anak di rantai pemasok mereka terlindungi.

Di bawah norma-norma hak asasi manusia, perusahaan tembakau bertanggungjawab memastikan tembakau yang mereka beli tak diproduksi dengan buruh anak, kata Human Rights Watch.

Sebagian besar tembakau di Indonesia dibeli dan dijual di pasar terbuka melalui pedagang dan perantara, di mana tembakau sering melewati banyak tangan sebelum dibeli oleh perusahaan rokok nasional atau multinasional. Namun, beberapa petani, ada yang berada di bawah kontrak langsung dengan perusahaan rokok.

Perusahaan multinasional yang memberi tanggapan pada Human Rights Watch memprioritaskan pemasok dengan kontrak langsung mereka. Namun, semua juga membeli tembakau di pasar terbuka, dan tak ada jejak di mana pasar tembakau terbuka diproduksi, dan bagaimana kondisinya.

Human Rights Watch tak menemukan bukti bahwa berbagai perusahaan rokok Indonesia punya langkah-langkah untuk mencegah buruh anak di rantai pasokan mereka, dan mereka tak menanggapi korespondensi atau mau bertemu dengan Human Rights Watch.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *