Jalan Panjang Perjuangan Buruh Outsourcing di BUMN

Jakarta, KPonline – Persoalan outsourcing di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah adanya praktik outsourcing yang menyimpang di BUMN. Praktik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012.

Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 menimbulkan kerancuan hukum dalam pelaksanaan praktek kerja outsourcing karena telah memberi peluang kepada perusahaan untuk meng-outsourcing-kan jenis pekerjaan diluar 5 (lima) pekerjaan yang diatur oleh undang-undang. Adapun kasus pelanggaran outsourcing tersebut terjadi di perusahaan perusahaan BUMN seperti PT PLN, Indofarma, Pertamina, PGN, BPJS Ketenagakerjaan (JAMSOSTEK), Telekom, Pos Indonesia, dan BUMN lainnya.

Perusahaan perusahaan tersebut seharusnya menjadi model hubungan industrial yang baik karena dimiliki Negara. Namun faktanya perusahan perusahaan plat merah tersebut menjadi contoh buruk bagi perusahaan perusahaan swasta.

Bahkan sangat ironis ketiak panitia kerja ( Panja ) DPR komisi IX sudah merekomendasikan pengangkatan terhadap pekerja ousourcing BUMN, namun diabaikan oleh Menteri Dahlan ISkan di era pemerintahan SBY dan juga diabaikan oleh Menteri Rini Suwandi di era pemerintahan Jokowi.

Kini, rezim pemerintahan sudah berganti. Tentunya kaum buruh berharap, Pemerintah bisa segera menyelesaikan persoalan outsourcing di BUMN yang sudah terkatung-katung selama bertahun-tahun.

GEBER BUMN

Koordinator Gerakan Bersama Buruh di BUMN (GEBER BUMN) Ahmad Ismail menjelaskan, bahwa dalam konstitusi disebutkan, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tidak hanya itu, bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran dan kesejahteran rakyat.

Jika melihat Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, seharusnya apa yang tertuang dalam konstitusi bisa diwujudkan. Jika kemudian kenyataannya berbeda, hampir bisa dipastikan, ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan alam.

Dalam mengelola kekayaan alam, yang dilakukan pemerintah salah satunya dengan mendirikan BUMN. Berikut adalah ciri BUMN: jenis usaha yang dij alankan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, pemerintah sebagai pemilik saham, dan berorientasi pada kepentingan nasional. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, seharusnya pemerintah bisa melakukan intervensi terhadap BUMN, sehingga keberadaannya bisa dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan rakyat.

Alih-alih menjadi contoh yang baik, tata kelola BUMN jauh dari yang diharapkan. Masih sering ditemui, BUMN dij adikan “kuda tunggangan” atau “ladang” untuk mengeruk keuntungan bagi sekelompok orang. Melupakan cita-citanya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.

Pelanggaran hukum ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan outsourcing adalah potret lain dari buruknya pengelolaan BUMN. Berdasarkan temuan yang disimpulkan oleh Panja OS BUMN, hampir semua perusahaan di lingkungan BUMN melanggar UU Nomor
13 Tahun 2003 dan Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012.

Sebagai representasi negara, BUMN seharusnya berada di garis depan dalam menjalankan amanah UUD 1945: Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2); hak bekerja, imbalan, dan perlakuan adil dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2); dan hak atas pemberdayaan
yang berkelanjutan (Pasal 34). Menghadapi situasi seperti ini, pekerja BUMN tidak tinggal diam. Sadar akan pentingnya melakukan advokasi
secara bersama-sama, kolektivitas perlawanan dari pekerja BUMN pun dilakukan dengan membentuk GEBER BUMN.

Ketika pertama kali dibentuk, hanya 7 perusahaan di lingkungan BUMN yang teridentifi kasi melakukan pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah banyak perusahaan BUMN yang teridentifi kasi melakukan pelanggaran, seperti: PT PLN, PT Pertamina, PT Telkom, PT Indofarma, PT PGN, PT KAI, PT Kimia Farma, PT Jamsostek, PT Garuda Indonesia, PT Pos Indonesia, PT KS, PT Jasa Marga, PT Semen Indonesia, BRI, BANK MANDIRI, BNI, PT DI, PT ASKES, PT ASDP, PT Kertas Leces, dsb.

GEBER BUMN melakukan beberapa kali aksi untuk mendesak agar perusahaan-perusahaan di lingkungan BUMN menjalankan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah dengan mendorong parlemen memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Kelak, desakan ini ditindaklanjuti oleh Komisi IX DPR RI dengan membentuk Panitia Kerja Outsourcing BUMN Komisi IX DPR RI. Panja mengeluarkan 12 rekomendasi yang berisikan sejumlah arahan penyelesaian. Tetapi sangat disayangkan, Pemerintah dengan perusahaan-perusahaan BUMN-nya enggan melaksanakan rekomendasi tersebut.

Melihat keengganan pemerintah menjalankan rekomendasi Panja OS BUMN, GEBER BUMN kembali turun ke jalan. Aksi ini berhasil memaksa Menteri BUMN menerbitkan surat edaran, yang kemudian dikenal dengan SE-06 dan SE-02. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI juga mengeluarkan Nota Pemerikasaan.

Bahkan, satu ketika, usulan hak interpelasi DPR RI digulirkan. Satgas OS BUMN juga telah dibentuk. Tetapi permasalahan tak kunjung terselesaikan.

Sementara itu, dari berbagai daerah, muncul rekomendasi dari wali kota, bupati, serta gubernur agar permasalahan ketenagakerjaan di BUMN segera diselesaikan. Mulai dari Aceh, Palembang, DKI Jakarta, Bekasi, Cianjur, Indramayu, Gorontalo, Sumbawa, dan sebagainya. Pada intinya, pemerintah diminta segera menjalankan rekomendasi Panja Komisi IX DPR RI.

Memang ada perubahan kebijakan di BUMN. Tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Sebagai contoh, proses pertanggungjawaban di Pertamina RU V Balikpapan, sebanyak 50 orang pekerja outsourcing diangkat menjadi pekerja permanen di Pertamina. Sementara itu, di PT Krakatau Steel, Banten, sebanyak 200 orang pekerja outsourcing menjadi pekerja permanen di Krakatau Steel. Di luar itu, ada ribuan pekerja outsourcing di BUMN yang nasibnya terkatung-katung.

Meskipun rezim berganti (dari SBY-Budiono ke Jokowi-JK), permasalahan belum juga terselesaikan. Meski Panja sudah merekomendasikan agar sistem kerja outsourcing di BUMN ditiadakan, tetapi faktanya masih diterapkan dengan beragam modifi kasi. Pertanggungjawaban terhadap naturalisasi pekerja outsourcing menjadi pekerja permanen BUMN dan proses mempekerjakan kembali pekerja yang sebelumnya di PHK secara sepihak, belum dilakukan.

Negara seakan tutup mata dengan semua persoalan ini.