4 Hal Yang Menyebabkan PHK Batal Demi Hukum

Jakarta, KPonline – PHK dianggap batal demi hukum apabila: (1) Dilakukan tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, (2) Ketentuan yang diatur dalam pasal 153 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003; (3) Karena alasan melakukan kesalahan berat, dan (4) Melakukan efisiensi/rasionalisasi, sementara perusahaan tidak tutup secara permanent.

Frasa “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya ketentuan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Yang harus kita pahami, ada perbedaan penting antara ‘batal demi hukum’ dengan ‘dapat dibatalkan’.

Untuk ‘batal demi hukum’ dalam perselisihan PHK, artinya tanpa perlu dimintakan pengesahan atau putusan dari Pengadilan, PHK tersebut sejak awal sudah dianggap tidak pernah ada. Sedangkan untuk dapat dibatalkan, maka PHK tersebut baru akan dianggap batal dan tidak mengikat jika salah satu pihak meminta pembatalannya ke Pengadilan.

1. PHK Tanpa Penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Ketentuan mengenai batal demi hukum terhadap PHK yang dilakukan tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubugan industrial bisa kita lihat dalam Pasal 155 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan, “Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”

Selanjutnya, dalam Pasal 151 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan, “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, yang menentukan bisa-tidaknya pekerja di PHK adalah lembaga penyelesaian perselisihan hubungan kerja. Bahkan ketika penetapan dari lembaga ini belum ada, baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melanjutkan kewajibannya.

Hal pertama yang harus dilihat ketika pengusaha melakukan PHK adalah, apakah pengusaha sudah memiliki penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk melakukan PHK. Jika belum ada penetapan dan PHK yang dilakukan bukan termasuk yang diatur dalam Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003, dapat dipastikan PHK tersebut batal demi hukum.

2. Beberapa Alasan Yang Tidak Boleh di PHK

Berdasarkan ketentuan Pasal 153 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan berikut:
a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. Pekerja menikah;
e. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. Pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Apabila pengusaha melakukan PHK dengan alasan sebagaimana tersebut diatas, maka PHK yang dilakukannya batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.

Tetapi perlu diingat, pengusaha biasanya tidak akan terang-terangan melakukan PHK dengan alasan sebagaimana terebut di atas. Ketika ingin melakukan PHK terhadap pekerja yang menjadi pengurus serikat pekerja, misalnya, hampir tidak pernah pengusaha menyatakan bahwa PHK dilakukan karena pekerja yang bersangkutan menjadi pengurus serikat pekerja. Dalam hal ini, kita harus jeli untuk mengetahui motif pengusaha ketika melakukan PHK.

3. Kesalahan Berat Tidak Boleh Menjadi Alasan PHK

Frasa “kesalahan berat” hanya kita temui berkaitan dengan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
k. penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
d. perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(3) Pekerja yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).

(4) Bagi pekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya

Tidak ada penjelasna lebih lanjut mengenai pengertian dari “kesalahan berat”. Dengan demikian, kita bisa menafsirkan bahwa kualifikasi kesalahan berat hanya terbatas pada yang diatur dalam Pasal 158 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan kata lain, tidak diperbolehkan ada pelanggaran lain yang dikualifikasikan sebagai kesalahan berat. Misalnya, merokok di dalam lokasi kerja bukanlah kesalahan berat dan bisa langsung di PHK.

Ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah (preassumption of innocence). Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dalam putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini artinya, Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan PHK.

Bagaimana jika ketentuan mengenai kesalahan berat dimasukkan kedalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau peraturan kerja bersama? Jika terjadi demikian, maka ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang memuat ketentuan mengenai kesalahan berat, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini karena, ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 dijelaskan, penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan, sebagaimana yang dimaksud Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003.

4. Efisiensi Tidak Boleh Menjadi Alasan PHK

Sering kita mendengar, pengusaha melakukan PHK dengan alasan efisiensi atau rasionalisasi. PHK dengan alasan pengusaha melakukan efisiensi, biasanya dilakukan ketika perusahaan masih dalam kondisi baik dan masih berproduksi seperti biasa (tidak tutup).

PHK dengan alasan efisiensi menjadi ancaman paling menakutkan, karena memberikan peluang yang besar untuk menghilangkan hak atas pekerjaan, pendapatan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Pekerja kapan saja bisa di PHK meskipun tidak melakukan kesalahan, hanya karena pengusaha berdalih sedang melakukan efisiensi. Padahal, PHK dengan alasan efisiensi seperti yang selama ini dipraktekkan di banyak perusahaan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003, ketentuan yang mengatur mengenai efisiensi diatur dalam Pasal 164 ayat (3), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Penekanan terhadap ketentuan ini harus diberikan pada klausul “perusahaan tutup”.

Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 sesungguhnya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup. Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tidak dapat diartikan “mengefisienkan biaya tenaga kerja, caranya dengan melakukan PHK terhadap pekerja”. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain “pengusaha melakukan efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan”.

Dalan putusannya Nomor 19/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.” Jadi, efisiensi tidak bisa digunakan untuk melakukan PHK, apabila perusahaan masih berjalan (tidak tutup).
Berikut ini saya kutipkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang melatarbelakangi putusannya dalam perkara Nomor: 19/PUU-IX/2011:

[3.21] Menimbang bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, tidaklah dapat ditentukan semata-mata hanya karena penerapan hukum belaka mengingat tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid atas frasa “perusahaan tutup” dalam UU 13/2003 apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup secara permanen ataukah hanya tutup sementara. Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan “cukup jelas”. Dengan demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan bagi pekerja di dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;

[3.22] Menimbang bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK;

[3.23] Menimbang bahwa dengan demikian, Mahkamah perlu menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tetap konstitutional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup” tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.