YLBHI : Stop Penggusuran Paksa Warga Temon, Kulon Progo, Yogyakarta

Yogyakarta,KPonline – Sepekan terakhir ini, dimulai dari Senin, 27 November 2017 sampai 4 Desember 2017, PT. Angkasa Pura (AP) 1 mengosongkan lahan dan rumah milik warga petani terdampak pembangunan Bandar Udara Baru (New Yogyakarta International Airport/NYIA). Sebelumnya proses land clearing juga digencarkan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tak habis pikir dengan langkah yang diambil oleh PT. AP 1 tersebut. Entah disadari atau tidak, sesungguhnya terdapat hal-hal mendasar yang diabaikan begitu saja.

Pertama, kendati izin lingkungannya sudah terbit per 17 Oktober 2017 lalu, sekali lagi musti digarisbawahi, studi amdal yang melandasi terbitnya izin tersebut tidak sohih secara hukum. Malahan mengandung cacat hukum nan akut.

Yang paling pokok dan telanjang di depan mata ialah, secara substansial seharusnya sudah dapat dipastikan amdal mustinya tidak akan pernah bisa dinilai layak. Dari aspek pelingkupan saja, muatan tentang kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan perundangan jelas tidak terpenuhi.

Belum lagi bicara deskripsi rona lingkungan hidup awal (environmental setting) yang pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi), makin tidak layaklah NYIA Kulonprogo dibangun. Sementara secara prosedural, proses studi amdal itu tidak dilakukan pada tahapan yang semestinya.

Ada tahapan yang dilompati oleh AP1. Bukannya amdal disusun terlebih dulu sebagai pra syarat untuk menerbitkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY (IPL), yang terjadi malah melompat jauh ke tahapan groundbreaking dan bahkan sudah masuk ke tahapan kontruksi (mobilisasi alat).

Kedua, di PP Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PerpresNomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali) hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029) tidak ada satu klausula yang “mewasiatkan” pembangunan bandar udara baru di Kulonprogo.

Yang ada ialah pengembangan dan pemantapan fungsi bandara Adi Sucipto yang terpadu/satu kesatuan sistem dengan bandara Adi Sumarmo, di Kabupaten Boyolali.

Ketiga, NYIA Kulonprogo yang diklaim sebagai proyek untuk kepentingan umum, adalah sarana transportasi udara yang akan memiliki resiko bahaya amat tinggi terutama bagi calon pengguna transportasi penerbangan. Sebab musababnya, bandara ini berdiri di atas kawasan rawan bencana tsunami. Menyangkut hal ini dapat dilihat di dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali di mana Kabupaten Kulonprogo jadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (Pasal 51 huruf g).

Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogo pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).

Bahkan tim peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru di Yogyakarta. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, seumuran jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini, berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9, demikian kata Kepala Geoteknologi LIPI Eko Yulianto di Kompas, Selasa 25 Juli 2017.

Jika suatu saat terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan (kekuatan kegempaan) magnitude lebih tinggi sedikit saja, bandara baru itu akan kena mulai bagian apron, terminal sampai runwaynya. Khalayak umum terutama masyarakat calon pengguna jasa transportasi udara seakan-akan sedang dijerumuskan ke kawasan berresiko bahaya ekstra, yaitu kawasan rawan bencana tsunami.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, lagi-lagi YLBHI melayangkan kecaman keras terhadap langkah yang yang diambil oleh AP 1 untuk melakukan upaya pengosongan paksa. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan upaya paksa melalui mobilisasi aparat negara, menggunakan alat berat, dan disertai pemutusan akses aliran listrik tersebut adalah tindakan represif yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 28A UUD 1945 sudah menjamin setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara pasal 28G pun tegas menyatakan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.

Oleh karena itu YLBHI mendesak dan menuntut kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia (Presiden Joko Widodo), Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan Angkasa Pura 1 untuk:

1. Menghentikan seluruh aktivitas pengosongan paksa terhadap lahan dan rumah-rumah warga;

2. Menghentikan seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport Kulonprogo;

3. Mengembalikan hak-hak warga pada kondisi semula.