Bogor, KPonline.- Setelah kemarin buruh-buruh Bogor melakukan aksi pengawalan Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor hingga larut malam, pada siang ini 16 November 2018, Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor memberikan Berita Acara Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor yang dilaksanakan pada 15 November 2018, kepada Bupati Bogor untuk dibuatkan Surat Rekomendasi Bupati Bogor yang akan diberikan kepada Gubernur Jawa Barat.
16 November 2018 pukul 11:00 WIB merupakan tenggat waktu yang diberikan oleh Gubernur Jawa Barat, untuk penyerahan Surat Rekomendasi Dewan Pengupahan Kabupaten. Diwaktu yang sangat “mepet” tersebut, Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor seakan-akan diburu oleh waktu. Hal ini pun membuat kecurigaan di kalangan aktivis buruh di Bogor. Hal ini pun sangatlah wajar, dikarenakan proses Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor yang terkesan bertele-tele.
Seperti yang diungkapkan oleh Novianto, salah seorang anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari unsur buruh. “Ada 2 (dua) usulan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor yang akan diberikan kepada Gubernur Jawa Barat pada hari ini. Tujuan kita jelas dan apa yang kita perjuangkan pun tegas. Kami, Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari unsur buruh seluruhnya, sepakat untuk menolak penetapan upah dengan menggunakan mekanisme PP 78/2015. Kami juga telah sepakat, menolak Upah Padat Karya yang sudah diusulkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari unsur pengusaha” ungkap Novianto yang juga merupakan salah seorang Pengurus Cabang SPL-FSPMI Bogor.
Seluruh Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari unsur buruh sepakat secara bulat untuk menolak penetapan upah berdasarkan mekanisme PP 78/2015. Tidak hanya itu, unsur buruh yang duduk di Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor, juga menyepakati untuk menolak rekomendasi adanya Upah Padat Karya (UPK). Atas hal-hal tersebut, unsur buruh yang duduk di Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor bersuara bulat, untuk tidak menanda tangani Berita Acara Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor.
Hal ini mereka lakukan dikarenakan, unsur pengusaha dan unsur pemerintah Kabupaten Bogor, mengusulkan penggunaan penetapan upah dengan menggunakan mekanisme PP 78/2015 dan mengusulkan adanya Upah Padat Karya. Hal ini sungguh disayangkan, karena seharusnya unsur pemerintah Kabupaten Bogor memahami bahwa, tidak adanya payung hukum dalam menetapkan Upah Padat Karya.
“UU 13/2003 sudah menjelaskan bahwa, hanya ada Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota. Selain itu tidak ada. Sudah minimum loh itu. Gimana sih pemerintah ini” ujar salah seorang buruh Bogor yang tidak ingin disebutkan namanya. Apa yang disampaikan oleh buruh tersebut memang benar adanya. Karena upah minimum yang diberlakukan oleh pihak pemerintah daerah, sering kali dijadikan sebagai acuan bagi pengusaha-pengusaha di tempat-tempat usahanya, sebagai upah maksimum. (RDW)