Uji Nyali : Salam 2 Jari Bareng Jokowi

Bogor, KPonline – Pembawa acara meminta hadirin meneriakkan “Jokowi Pole” (sekali lagi). Anak-anak muda yang hadir menjawab dengan teriakkan, “Jokowi Mole,” (Jokowi pulang-lah). Makin keras pembawa acara meneriakkan “Jokowi Pole,” makin keras pula mereka membalas dengan teriakan “Jokowi Mole” disertai salam dua jari.

Video aksi para remaja Madura ini sedang viral. Media-media online mengangkatnya sebagai berita. Sejumlah remaja yang mengenakan kaos pasangan Jokowi-Ma’ruf, terlihat tertawa-tawa mengacungkan salam dua jari. Salah seorang dari mereka merekamnya dan memberi narasi, layaknya seorang wartawan yang sedang menyampaikan laporan pandangan mata.

Wefie 2 jari bareng Jokowi jadi fenomena ( image : google )

Bagi Anda yang rajin mengamati media sosial, aksi semacam ini sangat mudah ditemukan bertebaran, di platform pertemanan, maupun situs berbagi video youtube. Sejumlah remaja tertawa dengan riang gembira foto bersama (wefie) Presiden Jokowi sambil mengacungkan salam dua jari.
Inilah sebuah pembangkangan sosial dalam diam. Hanya simbol. Perlawanan tanpa kekerasan.

Sesuai karakternya, pembangkangan sosial (social disobedience) generasi digital ala Madura, unik, lucu, lugas, tampil beda, dan berani. Aksi para remaja Madura ini menunjukkan perlawanan/pembangkangan terhadap Jokowi sudah meluas. Termasuk diantaranya adalah para remaja yang mengenakan kaos Jokowi-Ma’ruf, namun malah mengacungkan salam dua jari sambil berteriak “Jokowi Mole.” *

Lain tempat lain pula caranya, meskipun dalam hal yang sama. Ada seorang istri profesor di Semarang, Jawa Tengah yang memasang baliho Prabowo-Sandi
dalam ukuran besar di halaman rumahnya. Perempuan bernama Habibah ini berdiri di pinggir jalan dan kepada semua pengendara yang lewat, dia mengacung-acungkan salam dua jari.
Aksi ini dipicu kemarahan sang Ibu karena petugas Satpol PP mencopot spanduk Prabowo-Sandi yang dipasang di pagar rumahnya. Dia sudah mengadu ke KPU dan Bawaslu, namun tak digubris.

Sejarah mengajarkan kepada kita, pembangkangan sipil (civil disobedience) di berbagai belahan dunia, terjadi karena perlakuan yang tidak adil. Hukum berpihak kepada penguasa. Tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pembangkangan dan perlawanan ini harus dilihat sebagai protes atas praktek pemerintahan Jokowi yang tidak adil. Banyak pengamat asing yang menyatakan Jokowi anti demokrasi dan otoriter. Dalam konteks Pilpres 2019 merupakan tanda bahaya bagi Jokowi, sudah tiba saatnya lengser keprabon.*

Ketika Jokowi berkunjung ke Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/12/2018), sejumlah remaja dengan santainya ber-wefie dua jari di depan Jokowi. Padahal saat itu Jokowi dikawal dua petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), yang seharusnya sangat ditakuti.

Kepala BIN Budi Gunawan yang mengenakan baret merah marun dengan empat bintang, dan Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksamana yang mengenakan baret yang sama dengan tiga bintang, serta para anggota Paspampres hanya diam tak berdaya.

Bagaimana kita memahami peristiwa semacam ini? Apakah ini tanda-tanda lembaga kepresidenan dalam keadaan tanpa wibawa? Apakah Jokowi sadar, jika lembaga kepresidenan seakan-akan tak mampu membendung keinginan rakyat dalam kontestasi politik 2019?

Bagi saya, perubahan ke arah yang lebih baik lagi harus segera direalisasi. #2019GantiPresiden mungkin salah satu caranya. Bagaimana dengan Anda?

Dirangkum dari berbagai sumber