Jakarta, KPonline – Sabda Pranawa Djati, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) angkat bicara terkait tuduhan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang mengatakan bahwa hanya Said Iqbal (red: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) yang menolak penetapan Upah Minimum Provinsi berdasarkan PP 78 tahun 2015.
“Menaker asbun dan gagal paham karena menuduh UMP hanya ditolak oleh Said Iqbal!
Sejak pertama kali diterbitkan Pemerintah. Gerakan serikat pekerja di Indonesia sudah sangat masiv melakukan penolakan terhadap PP 78/2015 yang menjadi dasar penetapan UMP,” kata Sabda dalam acara Sosialisasi Kartu Pekerja yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi DKI Jakarta di kantor ASPEK Indonesia (3/11).
Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya hukum, termasuk judicial review ke Mahkamah Agung. Serikat pekerja juga telah mendapatkan rekomendasi dari Panitia Kerja (Panja) tentang Pengupahan Komisi IX DPR, yang diputuskan pada masa persidangan III tahun sidang 2015-2016, agar Pemerintah mencabut PP 78/2015 tentang Pengupahan dan mengganti dengan beleid yang baru.”
Sebelumnya JawaPos.com merilis berita pernyataan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dengan judul ‘Soal UMP, Kemenakertrans: Bukan Ditolak Buruh, Tapi Said Iqbal’ yang salah satu isinya tertulis, “Jangan bilang ditolak buruh, tapi ditolak Said Iqbal itu harus dibedakan. Lah kalau dia kan untuk mau-maunya sendiri,” ujar Hanif di Gedung Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Jumat (2/11/JawaPos.com).
“Pemberlakuan PP 78/2015 yang menghitung kenaikan upah minimum hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, telah ditolak oleh gerakan serikat pekerja di Indonesia, bukan cuma oleh Said Iqbal!” Tegas Sabda.
Masih menurut Sabda, pemberlakuan PP 78/2015 telah mengakibatkan beberapa hal, antara lain penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang seharusnya disurvey oleh Dewan Pengupahan Provinsi maupun Kota/Kabupaten.
“Hal ini jelas telah mereduksi kewenangan Gubernur serta peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam merundingkan penetapan upah minimum,” lanjutnya.
Sabda juga menegaskan bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan telah melanggar Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, ‘Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.’
Dalam penjelasan Pasal 88 ayat (1) dinyatakan bahwa, ‘Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.’
“KHL yang ditegaskan dalam UU 13/2003 itulah yang seharusnya tetap dilakukan survey pasar untuk kemudian menjadi salah satu dasar dalam penetapan UMP, bukan malah memaksakan pemberlakuan PP 78/2015 secara sepihak! Bahkan dengan mengeluarkan surat edaran ke Gubernur untuk menetapkan kenaikan UMP 2019 hanya sebesar 8,03 persen!”, pungkasnya.