Tetaplah Bhineka Tunggal Ika, Tetaplah Menjadi Cebong dan Kampret

Jakarta, KPonline – Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 sudah selesai. Banyak yang menasehati agar kedua kubu akur kembali. Tidak ada lagi ‘cebong’. Tidak ada lagi ‘kampret’. Yang ada hanyalah Indonesia.

Nasehat ini terkesan bijak. Tetapi melupakan satu hal, bahwa fitrah manusia adalah berbeda. Percayalah, kalau semuanya serba sama, nggak bakal ada enaknya.

Negeri ini sudah tersohor dengan bhineka tunggal ika. Berbeda-beda, tetapi sejatinya tetap satu. Kebersamaan dan persatuan menjadi pegangan bagi kita semua.

Dengan demikian, himbauan agar tidak ada lagi ‘cebong’ dan ‘kampret’ sejatinya meniadakan perbedaan itu sendiri.

Saya berpendapat, biarlah ‘cebong’ tetap menjadi ‘cebong’ dan ‘si kampret’ tetap menjadi ‘kampret’.

Tidakkah kalian pernah mendengar satu kisah tentang elang dan ayam?

Alkisah, pada suatu hari, seorang petani yang sedang memanen buah kopi menemukan sebuah sarang burung di atas sebuah pohon. Petani itu memanjat pohon dan mendapati beberapa butir telur burung elang yang masih hangat, kemungkinan telur itu sedang dierami oleh induknya.

Karena di sarang tersebut tidak ada induk elang, sang petani mengambil satu telur dan membawanya ke rumah. Telur itu ditempatkan ke dalam sebuah kandang ayam yang sedang bertelur dan mengerami telur-telurnya. Hingga beberapa hari kemudian, anak elang tersebut menetas bersamaan dengan anak ayam yang lain.

Induk ayam memperlakukan anak elang seperti anaknya sendiri, dan si anak elang mempelajari semua hal yang dilakukan oleh para ayam. Dia mematuk-matuk cacing di tanah, memakan biji-bijian dan tidak pernah mencoba untuk tebang, seperti layaknya ayam pada umumnya. Begitu terus hingga dia tidak menyadari siapa dirinya.

Saat sang elang sudah tua, ada sekumpulan elang yang terbang di atas langit. Kemudian elang yang tidak sadar akan jati dirinya hanya menatap ke langit sambil berkata, “Seandainya aku adalah elang.”

Kisah di atas menggambarkan bahwa kita perlu mempelajari secara mendalam apa potensi yang ada di dalam diri kita dan berani untuk lebih dari sekedar ikut-ikutan. Sang elang tidak menyadari dirinya adalah elang karena dia hanya mengikuti kebiasaan ayam, tidak pernah mencoba mengepakkan sayapnya dan terbang.

Pada akhirnya saya ingin mengatakan, jangan pernah menjadi orang lain. Tetaplah menjadi diri sendiri.

Presiden Jokowi akan memimpin bangsa ini untuk yang kedua kali. Tentu ia menjadi presiden Bangsa Indonesia. Presiden kita semua. Terlepas apakah kita memilih atau tidak memilih dalam pemilu yang lalu.

Sebagai rakyat, tentu kita berhak menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah. Hal ini semata-mata agar kebijakan pemerintah memberikan kebaikan bagi bangsa dan negara ini. Dengan tetap menjadi ‘cebong’ atau ‘kampret’, kita tidak akan kehilangan sikap kritis.

Sebab sejatinya pilihan kita adalah cerminan atas sikap politik. Persis pada titik inilah — kesadaran politik — harus kita rawat dengan baik.