Sama Dengan TKA, Guru Asing Pun Kita Tolak

Aksi guru honor | Foto: Internet

Jakarta, KPonline – Beberapa waktu lalu, KSPI menyuarakan penolakan terhadap keberadaan TKA yang tidak memiliki keterampilan (buruh kasar). Penolakan ini didasarkan pada argumentasi, bahwa warga negara Indonesia lebih berhak mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Barulah ketika ada jenis pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu, dimana buruh Indonesia tidak bisa memenuhi spesifikasi keahlian yang dibutuhkan itu, keberadaan TKA menjadi relevan.

Itu pun harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya transfer pengetahuan. Sehingga kemudian buruh Indonesia memiliki keahlian yang dibutuhkan.

Bacaan Lainnya

Masalah TKA sudah agak reda. Kini muncul wacana untuk mendatangkan guru asing dari luar negeri. Wacana ini disampaikan Menko PMK Puan Maharani.

Menanggapi hal itu, Ketua PB PGRI Didi Suprijadi menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut Didi, rencana mendatangkan guru asing dengan alasan mutu pendidikan rendah hanya karena melihat hasil ujian nasional yang belum sesuai dengan standar kelulusan tidaklah adil.

“Rendahnya mutu pendidikan jangan ditimpakan kepada guru semata, lalu direncanakan mendatangkan guru dari luar negeri,” kata Didi.

Menurut Didi, jumlah guru di Indonesia yang ada di bawah Kemendikbud dan Kemenag sekitar 4 juta orang. Setengahnya berstatus PNS dan 1,4 juta sudah bersertifikat.

Dengan demikian masih ada sekitar 2 jutaan guru berstatus honorer yang upahnya belum UMP serta tidak mempunyai jaminan hari tua.

“Benar kalau rendahnya mutu pendidikan di Indonesia salah satu penentunya adalah guru. Pertanyaannya guru yang mana yang dapat meningkatkan mutu pendidikan? Guru yang dapat menentukan mutu pendidikan adalah guru yang statusnya jelas, kesejahteraannya memadai, dan adanya jaminan sosial,” urainya.

Dia menyarankan, apabila ingin memperbaiki mutu pendidikan, maka perbaiki saja tata kelola gurunya, perbaiki statusnya, kesejahteraannya, dan jaminan sosialnya.

“Bagaimanapun kalau mendatangkan guru dari luar rasa nasionalis masyarakat terusik. Masyarakat awam masih trauma dengan kata-kata impor. Ada impor gula, impor beras, impor TKA, eh sekarang impor guru,” tegasnya

Apabila impor guru dilanjutkan, pasti akan menimbulkan rasa ketidakadilan pada publik. Apalagi saat ini pemerintah dianggap gagal menyejahterahkan guru honorer dan guru swasta.

Bahkan ada pendapat yang mengatakan jumlah guru di Indonesia saat ini melimpah. Puluhan ribu lulusan sarjana pendidikan dihasilkan setiap tahun.

Apabila untuk memenuhi kebutuhan guru harus didatangkan dari luar negeri, lalu bagaimana dengan nasib putera-puteri kita?

Pos terkait