Jakarta, KPonline – Memasuki masa akhir tahun 2025, berbagai serikat pekerja di Indonesia mulai ramai menuntut kenaikan upah. Salah satu wacana besar yang mereka gaungkan adalah melakukan mogok nasional. “Bila upah tak sesuai tuntutan (8,5-10,5%) Kami sudah mempersiapkan untuk melakukan pemogokan nasional dan sepakat dengan beberapa serikat buruh untuk melakukan itu, untuk waktunya masih konsolidasi,” kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di agenda Konsolidasi Aksi KSPI yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta. (30/10).
Mogok bukan sekadar berhenti. Mogok adalah jeda yang bising, sebuah hening yang menuntut untuk didengar dengan memilih untuk menarik napas panjang dan menutup mata, diam tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. Bukan untuk menyerah, melainkan untuk menimbang kembali harga diri kolektif. Tulisan ini mengurai bagaimana mogok kerja, dalam rupa-rupa sejarah dan teori, menjadi senjata rakyat pekerja, sebagai alat moral sekaligus strategis yang dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara buruh dan modal.
Sejarah mencatat, pemogokan buruh di Indonesia kerap dijadikan sebagai suatu alat bagi buruh untuk menuntut kondisi kerja dan kehidupan secara umum yang lebih baik. Langkah ini juga menjadi aksi langsung untuk menekan taipan maupun pemerintah, agar tak sewenang-wenang membuat aturan ketenagakerjaan.
Secara internasional, hak mogok kerja memiliki landasan normatif yang kuat dalam instrumen-instrumen pekerja global. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menempatkan kebebasan berserikat dan hak kolektif sebagai pilar dasar hubungan industrial. Meskipun interpretasi teknis tentang hak mogok beragam antar-negara, prinsip bahwa pekerja dapat menggunakan aksi kolektif sebagai alat tawar menolak sekadar belas kasihan pasar.
Dalam sejarah politik abad ke-20, mogok menjadi lebih dari tuntutan upah. Ia bisa menjadi percikan yang menyulut transformasi politik. Kasus Solidarnosc di Polandia pada 1980 menunjukkan betapa aksi pekerja yang terorganisir di dermaga Gdansk melahirkan gerakan yang mengguncang rezim otoriter dan membuka jalan bagi perubahan sistemik. Dari situ kita belajar bahwa mogok, bila dipadu dengan jaringan sosial yang kuat dan narasi publik yang efektif, bisa melampaui pabrik dan menyentuh ruang-ruang demokrasi.
Ekonomi dan teori permainan memberi kita lensa yang lebih tajam, dimana mogok adalah sinyal bahaya. Ketika pekerja meninggalkan produksi, perusahaan menghadapi kerugian langsung dan risiko reputasi; tindakan itu memaksa majikan maupun publik untuk menilai kembali pembagian biaya di meja negosiasi. Namun efektivitas mogok tak otomatis, tergantung pada kondisi ekonomi, solidaritas internal serikat, dukungan publik, dan timing politik. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas mogok sering kali berkaitan dengan revitalisasi keanggotaan serikat, menegaskan bahwa mogok bukan hanya alat tekanan tetapi juga mesin penguatan organisasi pekerja.
Di Indonesia, ancaman mogok nasional kerap muncul sebagai respons kolektif terhadap kebijakan upah dan kondisi kerja yang dianggap tak adil. Dalam beberapa tahun terakhir, federasi serikat buruh melayangkan ultimatum mogok ketika kenaikan upah minimum dianggap tidak memadai. Dan itu sebuah gambaran konkret bagaimana buruh menggunakan ancaman tindakan kolektif untuk menuntut pengakuan dan perbaikan ekonomi. Ancaman-ancaman ini, selain menekan pemerintah, juga memperlihatkan pergulatan naratif. Siapa yang layak sebut kehidupan layak? Dan berapa harga sebuah roti di meja seorang pekerja?
Di luar angka dan hukum, ada dimensi estetis dan etis dari mogok, yaitu bahasa solidaritas yang tiba-tiba menjadi nyata. Ketika mesin terhenti, ruang-ruang kerja mengubah ritme menjadi dialog. Lagu-lagu, plakat, dan cerita-cerita dari barisan pekerja menjadi arsip gerak yang menuntut didengar jutaan pendengar. Mogok menuntut narasi publik, yakni bukan hanya soal klaim ekonomi, tetapi tentang martabat kolektif yang menolak dijual murah.
Namun senjata apa pun bukan tanpa risiko. Mogok yang tak terkoordinasi dapat melemahkan klaim moral kaum pekerja; kekerasan atau pelanggaran hukum dapat membalik dukungan publik. Lebih lanjut, ketegasan tanpa strategi dapat menghancurkan pemogokan itu sendiri. Maka strategi mogok yang bijak mengkombinasikan organisasi internal yang kuat, komunikasi publik yang jernih, dan peta tekanan yang realistis terhadap rantai produksi dan konsumen.
Singkatnya, ketika jeda mengubah arah mogok itu adalah seni menahan napas bersama demi menarik napas baru. Ia adalah senjata yang terbentuk bukan dari kebencian, melainkan dari kebutuhan untuk mengatur ulang tentang sebuah ketidakseimbangan.
Sebagai senjata rakyat pekerja, mogok mengingatkan bahwa kekuatan paling mendasar bukan semata alat produksi, melainkan realita solidaritas yang menghidupinya. Ketika para pekerja berbaris mundur dari mesin, mereka tidak menyerah pada hampa. Namun, mereka menulis ulang syarat permainan.