Potret Perjuangan Buruh Pabrik dengan Dua Anak Sekolah

Potret Perjuangan Buruh Pabrik dengan Dua Anak Sekolah
Foto: Ilustrasi

Dibalik deru mesin-mesin pabrik yang tak pernah berhenti, ada sosok-sosok manusia yang diam-diam bertarung setiap hari. Bukan melawan waktu, bukan pula melawan rekan kerja, tapi melawan realitas biaya hidup yang terus melonjak, sementara upah tetap berjalan di tempat. Salah satunya adalah Suryanto (38), seorang buruh pabrik Textile di pinggiran Kabupaten Purwakarta, yang harus menghidupi istri dan dua anaknya yang sedang mengenyam pendidikan di tingkat SMP dan SMA.

“Kalau bicara cukup, ya jujur saja tidak cukup. Tapi namanya orang tua, harus tetap dijalani,” ucap Suryanto ketika ditemui di kediamannya, sebuah rumah yang masih dalam proses cicilan.

Gaji pokok Suryanto sebagai buruh tetap di pabrik tempatnya bekerja sebesar Rp4.800.000 per bulan. Dan kalau lagi ada lemburan, ia bisa membawa pulang sekitar Rp5.500.000. Namun jumlah ini terkadang nyaris selalu habis sebelum bulan berganti.

#Rincian Biaya Hidup

Dalam sebulan, pengeluaran rumah tangga Suryanto secara kasar terbagi sebagai berikut:

1. Biaya cicilan rumah: Rp1.200.000

2. Listrik dan air: Rp250.000

3. Uang sekolah anak SMA (kelas XI): Rp350.000 (kegiatan dan biaya transport)

4. Uang sekolah anak SMP (kelas VIII): Rp300.000 (kegiatan dan biaya transport)

5. Biaya makan keluarga: Rp2.000.000 – Rp2.500.000

6. Kebutuhan mendadak (biaya tak terduga) lainnya: Rp500.000-Rp700.000

“Kadang kalau ada anak yang butuh beli buku, seragam baru, atau ikut les tambahan, saya harus pinjam dulu ke koperasi atau teman,” jelasnya.

#Mimpi dan Realita

Anak pertama Suryanto, Dina, punya cita-cita jadi perawat. “Kalau bisa, saya pengen lanjut ke keperawatan di sekolah negeri. Tapi tahu sendiri, uang pangkalnya juga tidak murah,” kata Dina yang saat ini duduk di kelas 11 SMA. Sementara adiknya, Arif, justru tertarik pada teknologi dan sering ikut ekstrakurikuler komputer di sekolahnya.

Suryanto sadar, pendidikan anak adalah satu-satunya jalan keluar dari lingkaran ekonomi yang menghimpit keluarganya. “Saya enggak ingin anak-anak kerja di pabrik seperti saya. Mereka harus sekolah tinggi, punya masa depan.”

#Harga Hidup Naik, Upah Masih Datar

Kondisi Suryanto bukan kasus tunggal. Berdasarkan data dari beberapa lembaga riset ketenagakerjaan, rata-rata kebutuhan hidup layak (KHL) di wilayah Purwakarta untuk satu keluarga kecil mencapai Rp6.500.000-Rp8.000.000 per bulan, jauh di atas rata-rata Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang hanya sebesar RP4.792.252,92

“Angka UMK tidak pernah realistis bagi buruh yang sudah berkeluarga, apalagi yang punya dua anak sekolah,” kata seorang peneliti dari suatu Lembaga Kajian kesejahteraan Masyarakat, Kabupaten Purwakarta. Ia menyebutkan bahwa sistem pengupahan di Purwakarta belum sepenuhnya mempertimbangkan realitas ekonomi keluarga buruh.

#Kredit dan Jerat Utang

Dalam kondisi defisit, banyak buruh yang akhirnya bergantung pada skema kredit. Dari koperasi pabrik, aplikasi pinjaman online, hingga arisan RT yang kadang berubah jadi beban. “Saya sendiri masih nyicil motor, karena anak-anak butuh transport. Belum lagi HP anak yang rusak, harus diganti supaya bisa ikut belajar daring,” ujar Suryanto.

Utang ini menjadi lingkaran tak berujung. Bahkan, menurut catatan Koalisi Keadilan Buruh, lebih dari 40% buruh pabrik di kawasan industri besar di Indonesia memiliki utang produktif maupun konsumtif, dengan bunga beragam yang tidak selalu transparan.

Namun demikian, meski dihimpit beban ekonomi, Suryanto tetap aktif dalam kegiatan serikat pekerja di pabriknya. “Lewat serikat, kami bisa saling bantu, ada koperasi, kadang juga ada subsidi untuk anak sekolah,” ujarnya. Namun ia sadar, bantuan itu hanya sementara. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik.

“Pendidikan itu hak semua warga negara. Tapi kalau orang tua dibebani semua, ya susah. Negara harus lebih hadir, bantu biaya sekolah anak buruh, atau naikin gaji buruh sesuai kebutuhan riil,” katanya.

#Menatap Masa Depan

Malam itu, setelah selesai mencuci sepatu anaknya yang basah karena hujan, Suryanto duduk di depan rumah petaknya. Ia tak punya banyak waktu luang, tapi selalu menyempatkan diri untuk menyimak pelajaran anak-anaknya.

“Gaji kecil, hidup berat, tapi anak-anak adalah semangat saya. Saya mau mereka tumbuh besar dan bisa bilang: ‘Bapak sudah berjuang.’ Itu cukup,” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Di tengah gempuran harga yang terus merangkak naik dan stagnasi upah, kisah Suryanto adalah wajah nyata dari jutaan buruh pabrik di Indonesia. Mereka bukan hanya mesin produksi, tapi tulang punggung keluarga, penggerak ekonomi, dan pejuang harapan dalam sunyi.