Pekerja Kontrak yang Tak Pernah Tetap

Pekerja Kontrak yang Tak Pernah Tetap

“Saya sudah lima tahun bekerja di perusahaan ini. Setiap tahun hanya diperpanjang kontrak. Tidak ada kejelasan. Saya ingin status saya tetap. Tapi saya takut bersuara. Takut diberhentikan”

Itulah suara lirih seorang pekerja pabrik otomotif di Kawasan Industri Karawang, Jawa Barat. Namanya tidak ingin disebut, tapi ceritanya adalah kenyataan yang dialami ribuan, bahkan mungkin jutaan buruh kontrak di seluruh penjuru Indonesia.

Sudah lima tahun ia bekerja. Sudah ribuan barang produksi melewati tangannya. Sudah tak terhitung lembur dan target yang harus dipenuhi. Tapi statusnya tetap sama, yaitu pekerja kontrak. Tanpa jaminan, tanpa kejelasan masa depan, dan tanpa keberanian melawan, karena tak ada serikat pekerja di tempatnya bekerja.

#Pekerja Kontrak yang Tak Pernah Tetap

Dibawah Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Cipta Kerja, dan kemudian tereleminasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terdapat dua bentuk hubungan kerja: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/tetap).

Namun aturan jelas menyebutkan: pekerjaan yang bersifat tetap dan terus-menerus tidak boleh diikat dalam PKWT. Bahkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa kontrak kerja hanya boleh berlaku maksimal 5 tahun (termasuk perpanjangan dan pembaruan), dan hanya untuk pekerjaan yang bukan bersifat tetap.

Namun praktik dilapangan berkata lain. Banyak perusahaan “mengakali” sistem ini. Karyawan yang bekerja bertahun-tahun untuk posisi yang esensial dan rutin tetap dibiarkan menjadi pekerja kontrak. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka diberhentikan sejenak lalu direkrut kembali dengan nama kontrak baru. Praktik ini disebut “perpanjangan semu”, dan jelas melanggar hukum.

#Kisah Nyata: Anjas dan Bayangan Masa Depan

Anjas (27), seorang pekerja pria di pabrik elektronik ternama di Bekasi, mengaku telah bekerja selama lima tahun penuh, tetapi statusnya tetap tidak berubah.

“Aku masuk sejak 2020. Kontrak awalnya setahun. Lalu diperpanjang dua kali. Terus disuruh resign sebentar, masuk lagi dengan kontrak baru. Padahal kerjaan aku itu ya tetap di bagian produksi. Datang pagi, lembur sampai malam. Tapi tetap saja nggak bisa jadi karyawan tetap,” katanya.

Saat ditanya kenapa tidak melapor atau melawan, Anjas hanya mengangkat bahu. “Siapa yang bisa bantu? Kita nggak punya serikat. Teman-teman juga takut. Ada yang pernah protes malah nggak diperpanjang kontraknya”

Kondisi seperti yang dialami Anjas bukanlah kasus tunggal. Banyak pekerja muda di sektor padat karya seperti tekstil dan makanan mengalami nasib serupa. Mereka bekerja penuh waktu, dalam struktur kerja yang tetap, namun tetap tidak diberikan status yang layak.

#Ketika Negara Diam, Serikat Pekerja atau Serikat Buruh Harus Bicara

Dalam sistem ketenagakerjaan ideal, pengawasan ketenagakerjaan menjadi tugas negara melalui Dinas Ketenagakerjaan. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan keterbatasan pengawasan dan minimnya penindakan terhadap pelanggaran status kerja.

Disinilah pentingnya peran serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB). Karena, serikat pekerja bukan hanya wadah advokasi, tetapi juga menjadi benteng perlindungan hak-hak buruh. Dengan serikat pekerja yang kuat, karyawan bisa menyuarakan persoalan kontrak berkepanjangan secara kolektif. Serikat pekerja bisa mengajukan perundingan bipartit, bahkan membawa kasus ke pengadilan hubungan industrial jika perlu.

Namun kenyataan di banyak perusahaan, terutama sektor swasta dan industri outsourcing, menunjukkan bahwa keberadaan serikat pekerja masih sangat minim. Dalam banyak kasus, bahkan dilarang secara halus atau keras oleh perusahaan. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional pekerja yang dijamin dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

#Mengapa Buruh Takut Berserikat?

Menurut data dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), salah satu alasan utama rendahnya angka serikat pekerja di tingkat perusahaan adalah tekanan dan intimidasi dari manajemen.

“Banyak karyawan muda/ baru yang ingin berserikat, tapi takut tidak diperpanjang kontraknya. Apalagi status mereka masih kontrak atau outsourcing. Padahal justru karena itulah mereka butuh serikat,” kata Fuad BM, Ketua Konsulat Cabang (KC) FSPMI Kabupaten Purwakarta.

Serikat pekerja bukan musuh perusahaan. Justru kehadirannya dapat mendorong hubungan industrial yang sehat dan adil. Ketika ada serikat yang kuat, jalur dialog terbuka. Persoalan status kerja, upah, jam kerja, hingga keselamatan kerja bisa dibicarakan dan dinegosiasikan.

#Fenomena Perbudakan Modern dalam Dunia Kerja

Dalam banyak literatur ketenagakerjaan, fenomena kontrak berkepanjangan untuk pekerjaan yang bersifat tetap disebut sebagai bentuk “perbudakan modern”. Para pekerja tidak memiliki daya tawar. Mereka dipaksa menerima kondisi tidak pasti, karena jika tidak, maka ribuan orang di luar sana siap menggantikan mereka.

Bagi perusahaan, sistem ini lebih efisien. Tidak perlu membayar pesangon. Tidak ada kewajiban untuk promosi atau jaminan hari tua. Jika produktivitas menurun, tinggal tidak diperpanjang. Praktik ini menguntungkan pemilik modal, tapi merugikan pekerja dan bertentangan dengan keadilan sosial.

#Ketika Hukum Tidak Ditegakkan, Harapan Ada pada Kesadaran Kolektif

Negara seharusnya tidak boleh abai. Pengawasan ketenagakerjaan harus diperkuat. Dinas Tenaga Kerja di tingkat kabupaten/kota perlu turun langsung dan mengecek status hubungan kerja di perusahaan-perusahaan besar. Namun ditengah lambannya penegakan hukum, kekuatan perubahan justru ada di tangan pekerja itu sendiri.

Membangun serikat pekerja menjadi solusi konkret. Dengan berserikat, pekerja tidak lagi sendiri. Mereka punya organisasi untuk menyuarakan, membela, dan memperjuangkan haknya secara kolektif.

#Kemenangan Tak Datang dari Diam

Ada banyak contoh bahwa perjuangan melalui serikat bisa berhasil. Salah satunya adalah kisah para buruh PT Sepatu Bata pada tahun 2012. Setelah dua bulan mogok kerja dan aksi unjuk rasa, akhirnya perusahaan mengangkat sekitar 500 pekerja kontrak menjadi karyawan tetap.

Contoh lain, pada 2023, di kawasan industri di Semarang, serikat pekerja di sebuah pabrik tekstil berhasil mengubah status 200 pekerja kontrak menjadi tetap setelah melakukan perundingan melalui jalur bipartit dan tripartit.

#Solusi dan Rekomendasi

Pertama, perkuat Serikat Pekerja di Tingkat Perusahaan:
-Fasilitasi pembentukan serikat oleh pekerja.
-Ciptakan iklim yang bebas intimidasi dan represif.
-Libatkan serikat dalam perjanjian kerja bersama.

Kedua, Tingkatkan Pengawasan Pemerintah:
-Evaluasi rutin status hubungan kerja di perusahaan.
-Terapkan sanksi tegas pada pelanggaran UU Ketenagakerjaan.

Ketiga, edukasi dan Sosialisasi Hak Buruh:
-Buruh harus mengetahui hak-haknya sebagai pekerja.
-Kampanye pentingnya berserikat melalui media dan LSM.

Keempat, Revisi Kebijakan yang Melegalkan Kontrak Abadi:
-Tinjau ulang pasal-pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja.
-Perjelas kriteria pekerjaan yang bisa dikontrak.

Kelima, Dukungan Lintas Sektor:
-Akademisi, media, tokoh agama dan masyarakat harus bersatu membela keadilan sosial di dunia kerja.

#Intinya, Saatnya Buruh Tidak Lagi Takut

Lima tahun bekerja bukan waktu yang singkat. Seseorang bisa kuliah, menikah, atau membangun usaha dalam lima tahun. Tapi jika dalam lima tahun bekerja seseorang masih berstatus kontrak, maka ada yang salah dalam sistem ketenagakerjaan kita.

Ketakutan, ketidakpastian, dan ketidakadilan itu hanya bisa diakhiri jika para buruh berani bersatu dan membentuk kekuatan kolektif.

Serikat pekerja bukanlah musuh perusahaan. Serikat pekerja adalah mitra dalam mewujudkan hubungan industrial yang baik dan harmonis.