Partai Buruh Soroti Rekomendasi Angka UMP DKI Jakarta Tahun 2023

Jakarta, KPonline – Presiden partai buruh yang juga presiden Konfederasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPI), Said Iqbal melakukan Konferensi pers virtual pada Rabu (23/11/2022) menyikapi rekomendasi angka Upah Minimum provinsi DKI Jakarta tahun 2023.

Menurut Said Iqbal mengapa UMP DKI Jakarta menjadi penting karena DKI Jakarta berbeda dengan 33 provinsi lainya yang mempunyai UMK di Kabupaten/Kota, sehingga UMP di provinsi tersebut nyaris tidak diterapkan. Namun jelang penetapan UMP DKI Jakarta 2023 ada usulan angka yang berbeda dan yang anehnya usulan berbeda tersebut dari Apindo dan Kadin DKI Jakarta, “Dalam sejarah berdirinya negara Republik Indonesia baru kali ini ada usulan berbeda dari satu unsur,” kata Iqbal.

Lebih lanjut Said Iqbal menyampaikan bahwa angka rekomendasi tersebut adalah :

1. Apindo : 2,62% (PP No.36/2021)
2. Kadin : 5,11% (Permenaker No.18/2022)
3. Serikat pekerja : 10,5% (Inflasi dan pertumbuhan ekonomi)
4. Pemerintah : 5,6 % (Permenaker No.18/2022)

Oleh sebab itu partai buruh dan serikat pekerja mengapresiasi Kadin dan pemerintah karena PP 36/2021 tidak digunakan sebagai acuan untuk penetapan UMP dan mendukung serikat pekerja dwngan konsepnya karena sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kalangan pengusaha ngotot agar aturan turunan UU Cipta Kerja itulah yang dijadikan dasar sebagai penetapan upah minimum.

Said Iqbal menegaskan kalau dipaksakan UMP DKI Jakarta diputuskan tidak sesuai harapan akan terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran.

Sementara menurut Kahar S.Cahyono kegigihan kaum buruh dalam berjuang berbuah manis. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 (Permenaker 18/2022). Setidaknya, dengan terbitnya Permenaker tersebut, tuntutan agar PP 36/2021 tidak dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum dipenuhi.

Hal lain, secara tidak langsung, Pemerintah mengakui bahwa beleid yang merupakan aturan turunan dari omnibus law UU Cipta Kerja itu tidak bisa menjawab tantangan yang ada. Maka cukup sampai di sini. Omnibus law tak perlu dipertahankan lagi. Buktinya, soal penetapan upah minimum saja bermasalah sehingga perlu dilakukan kebijakan khusus dengan menerbitkan Permenaker. Sementara kita tahu, di luar soal kenaikan upah minimum, masih banyak lagi yang bermasalah.

Atas dasar itu, kaum buruh mendesak agar kenaikan upah minimum tahun 2023 minimal adalah 10%. Pendek kata, jika Permenaker 18/2022 mengatur maksimal kenaikannya 10%, buruh akan berjuang minimal kenaikan upah minimum tahun 2023 sebesar 10%.

Perjuangan belum selesai. Sikap kaum buruh belum bergeser. Mereka masih konsisten untuk memperjuangkan upah layak. Bagi buruh, upah adalah esensi dari kehidupan buruh itu sendiri. Sebagaimana filosofinya, buruh adalah mereka yang menjual tenaganya untuk mendapatkan upah. (Yanto)