Ngutang Kok Bangga

Bogor, KPonline – Ach, lagi-lagi harus menutup wajah menahan malu. Berjalan perlahan-lahan menuju kantor koperasi karyawan dimana saya bekerja. Dan, lagi-lagi harus bertatap wajah dengan Mbak Ummi yang denok, deboy, seksi, aduhai melehay melehoy. Tapi, galak dan garang kalau menghadapi karyawan-karyawan yang bermasalah soal keuangan. Salah satu karyawan yang sering bermasalah dengan keuangan itu adalah saya.

Sudah 4 bulan ini, saya dan kawan-kawan yang terhimpun dalam Tim Media, senantiasa menyisihkan waktu untuk diberikan kepada organisasi. Tak terhitung jumlahnya, sudah saya ikhlaskan dan saya berikan. Toh, waktu tidak akan mungkin akan kembali bukan? Dan dampak dari keaktifan saya di Tim Media adalah, hilangnya jam lembur saya selama 3 bulan terakhir. Padahal, agar bisa lembur ditempat saya bekerja adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa. Banyak kawan-kawan saya yang harus mencari muka kesana kemari bahkan hingga “nekat” Mengganggu produksi agar bisa mendapatkan jam lembur.

Hal itu, secara pribadi, dapat saya maklumi saat ini. Bagaimana tidak? Dengan upah UMK setiap bulannya, kebutuhan hidup dalam keluarga saya tidak pernah tercukupi. Dan akhirnya, dengan “berhutang” di koperasi segala kebutuhan pokok sehari-hari saya dan keluarga dapat terpenuhi.

Miris? Biasa aja kali.. Toh, dari bulan ke tahun, dan terus seperti itu, saya dan keluarga masih bisa hidup. Meskipun harus dengan berhutang. Ya, berhutang adalah salah satu solusi paling cepat dan tepat untuk kelas buruh pabrik seperti saya dan kawan-kawan yang lainnya.

Apakah saya bangga dengan hutang yang saya sendiri pun tidak pernah tahu kapan akan berakhir bahagia? Apakah dengan berhutang, segala permasalahan saya akan teratasi ? Ya, saat ini teratasi. Bagaimana dengan esok hari? Lusa nanti atau ketika saya pensiun nanti? Entahlah, yang penting saat ini saya, istri saya dan 3 orang anak-anak saya bisa makan.

“Urusan bayar urusan nanti,” begitulah jawaban saya kepada sebuah hati kecil yang sebenarnya selalu menjerit.

Istirahat tidur malam saya selalu terganggu dengan “bayangan hutang yang semakin menggunung”. Gelisah dan resah, menghantui setiap kali saya akan memejamkan mata lelah ini. Seharian di pabrik, membuat produk yang kita sendiri tidak tahu berapa harga barang yang sudah kita buat. Sedangkan kita, sebagai robot bernyawa, selalu saja diberikan “remah-remah roti” yang nilainya tidak seberapa. Dan kalau mengingat hal itu, sebenarnya saya pun “bisa saja merasa bangga” jika masih bisa hidup meskipun dibawah tekanan riba dan dosa yang bernama hutang.

Kembali ke Mbak Ummi, sang Algojo penambah riba. Tanpa menoleh barang sedikit pun, dia seakan sudah mengetahui gerak-gerik saya sedari tadi.

“Pinjaman uang pake formulir berwarna biru sekarang, kalo mau ambil barang diisi tuh formulir berwarna merah,” ketus dan tidak berperasaan sedikit pun.

Tanpa merasa berdosa karena mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, Mbak Ummi masih berkutat dengan layar komputer milik koperasi. Entah apa yang dikerjakannya, yang pasti, saya bisa mengintip sedikit layar monitor itu. Deretan angka dan deretan nama-nama karyawan yang masih berhutang berikut nominalnya. Dan nama saya ada di urutan paling atas!

“Jadi mau pinjan berapa bulan ini?” Makjlebbb! Sangat sakit mendengar kalimat terakhir tersebut. Setiap bulan saya akan selalu kembali ke kantor koperasi ini. Dan selalu dengan alasan yang sama pula. Upah saya tidak pernah cukup untuk menghidupi saya dan keluarga. Dan Mbak Ummi pun sepertinya sudah maklum dengan keadaan saya yang “sudah hampir tidak bisa bahagia” ini.

Mau tidak mau, malu ataupun tidak malu, bahkan sangat jauh dari kata “bangga”, dengan terpaksa saya harus berhutang lagi. Bahkan, saya katakan kepada diri saya sendiri, untuk tetap “bangga atas nikmat hutang” selama ini. Antara malu dan bangga, malu karena setiap bulan akan selalu berhutang dan “bangga” karena masih mampu berhutang kesana-kemari hanya untuk bisa berhutang.

Ke warung Ceu Entin, ke toko beras Koh Ayong atau bahkan update status Facebook soal “bangganya arti sebuah hutang”.

Lagi pula kenapa juga kita harus malu, atas apa yang kita anggap baik dan benar. Toh pemimpin dan pejabat di negeri ini pun tidak malu berhutang ke negara-negara pendonor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *